Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono I

 
Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono I

Daftar Isi Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono I

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Nasab
1.4  Wafat
2.    Perjalanan Hidup Sultan Hamengku Buwono I
3.    Peran Sultan Hamengku Buwono I Dalam Dakwah Islam
4.    Referensi
 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Sri Sultan Hamengku Buwono I lahir pada 6 Agustus 1717, beliau merupakan putra Amangkurat IV susuhunan Mataram kedelapan, yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati

Sri Sultan Hamengku Buwono I merupakan nama gelar yang dipakai oleh sultan pertama Yogyakarta ketika mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Yogyakarta dan beliau menjadi rajanya. Sebelum bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, beliau telah menggunakan dua nama lain, yakni Raden Mas Sujana dan Mangkubumi. Nama yang pertama merupakan nama asli dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Adapun yang kedua adalah gelar lain yang disematkan kepadanya ketika beliau mulai menginjak usia dewasa.

1.2 Riwayat Keluarga
Dalam pernikahannya Sri Sultan Hamengku Buwono I di karuniai tujuh belas anak laki-laki dan lima belas anak perempuan, yaitu:

  1. Gusti Raden Mas Intu bergelar Kanjeng Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara Ingkang Sudibya Atmarinaja Sudarma Mahanalendra. beliau meninggal sebelum ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
  2. Gusti Pangeran Hangabehi
  3. Gusti Raden Mas Sundara. Naik tahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwana II
  4. Bendara Pangeran Harya Demang Tanpa Nangkil
  5. Bendara Pangeran Harya Dipasanta
  6. Bendara Pangeran Harya Natakusuma. Diangkat menjadi Adipati Kadipaten Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Harya Paku Alam I
  7. Bendara Pangeran Harya Kusumayudha. Beliau juga bergelar sebagai Bendara Pangeran Harya Hadikusuma
  8. Bendara Pangeran Harya Silarang. Beliau juga bergelar sebagai Bendara Pangeran Harya Dipawijaya I atau Pangeran Harya Haji Muhammad Abu Bakar
  9. Bendara Raden Mas Adiwijaya. Kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Panular, seorang Wakil Dalem untuk Hamengku Buwana V
  10. Bendara Pangeran Harya Mangkukusuma. Beliau juga seorang Wakil Dalem
  11. Bendara Pangeran Harya Hadikusuma II
  12. Bendara Pangeran Harya Dipasana
  13. Bendara Pangeran Harya Blitar
  14. Bendara Raden Mas Sudarma. Beliau kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Santakusuma
  15. Bendara Raden Mas Sabiril. Beliau kemudian bergelar Bendara Pangeran Harya Panengah
  16. Bendara Raden Mas Suwardi
  17. Gusti Raden Ajeng Inten.
  18. Bendara Raden Ayu Jayaningrat
  19. Bendara Raden Ayu Purbayasa. Beliau juga bergelar sebagai Bendara Raden Ayu Dhanukusuma.
  20. Bendara Raden Ayu Sasradiningrat
  21. Bendara Raden Ayu Rangga Prawiradirja
  22. Bendara Raden Ayu Natayudha I
  23. Bendara Raden Ayu Yudhakusuma I
  24. Bendara Raden Ayu Sasrakusuma I
  25. Bendara Raden Ayu Yudhakusuma II
  26. Bendara Raden Ajeng Sutiya. Beliau  juga bergelar sebagai Bendara Raden Ayu Jayadiwira
  27. Bendara Raden Ayu Pringgalaya
  28. Bendara Raden Ayu Dhanunegara
  29. Bendara Raden Ayu Mangkundirja
  30. Bendara Raden Ayu Ratnadinigrat
  31. Bendara Raden Ayu Purwadipura

1.3 Nasab
Dari sisi genealogis, Sri Sultan Hamengku Buwono I masih memiliki garis darah dengan raja terakhir Majapahit, Brawijaya V. Konon, garis darah hingga ke raja Majapahit ini berasal dari dua pihak, yakni ayah beliau (Amangkurat IV) dan ibundanya (Mas Ayu Tejawati). Silsilah dari pihak ayahnya sudah dijelaskan sejak awal, yang mengatakan leluhur Amangkurat IV bernama Bondan Kejawen yang tak lain merupakan putra Prabu Brawijaya V. Lalu, bagaimana dengan silsilah dari sisi ibu yang juga berpuncak pada Prabu Brawijaya V Inilah yang belum banyak diketahui.

Adapun silsilah dari pihak Mas Ayu Tejawati ibunda Sultan Hamengkubuwono I hingga ke Prabu Brawijaya V adalah sebagai berikut:
Prabu Brawijaya memiliki beberapa orang putra, salah satunya berjuluk Jaka Dhalak. Kemudian, Jaka Dhalak menurunkan Wasisrowo alias Pangeran Panggung. Dari Pangeran Panggung terlahir Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Kemudian, Tumenggung Perampilan ini mengabdikan diri di Pajang pada Sultan Hadiwijaya. Adapun putra dari Tumenggung Perampilan bernama Kyai Cibkakak di Kepundung Jawa Tengah. Selanjutmya, dari Kyai Cibkakak lahir seorang putra bernama Kyai Resoyuda. Kyai Resoyuda lalu menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko. Nah, Ngabehi Hondoroko ini adalah ayah dari Mas Ayu Tejawati, ibunda Sultan Hamengku Buwono I.

Demikianlah silsilah Sri Sultan Hamengku Buwono I dari garis ibu hingga ke Prabu Brawijaya V. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa Raja-raja Yogyakarta adalah keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono I masih merupakan keturunan dari Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit.

1.4 Wafat
Sri Sultan Hamengku Buwono I meninggal pada 24 Maret 1792 dan dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri.

2.  Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono I
Sri Sultan Hamengku Buwono I memiliki seorang kakak yang menjadi pewaris tahta kerajaan ayah belilau, yakni yang bergelar Pakubuwono II, raja terakhir Kesunanan Kartasura dan raja pertama Kesunanan Surakarta. Namun, Sultan Hamengku Buwono I berseberangan politik dengan sang kakak. Salah satu penyebab perselisihan di antara kakak beradik itu tidak lain adalah tahta kerajaan. Perselisihan itu dimulai dari sebuah peristiwa yang bernama Geger Pecinan, yaitu pemberontakan orang-orang Tiongkok di Batavia. Awalnya, Pakubuwono II bersama dengan keponakannya, Raden Mas Said, menjadi pendukung pemberontak. Namun, keduanya akhirnya berpisah ketika Pakubuwono II berbalik mendukung VOC dan melawan pemberontak. Sejak itu, Raden Mas Said berseberangan secara politik dengan Pakubuwono II.

Pada suatu ketika, Raden Mas Said berhasil merebut Sukowati dari wilayah kekuasaan Kartasura dan juga berhasi} menghancurkan istana Kartasura. Karena itu, Pakubuwono II akhirnya membangun istana baru di Surakarta. Ketika beliau sudah menjadi raja di Kartasura, beliau membuat sayembara barang siapa berhasil merebut tanah Sukowati yang waktu itu diduduki oleh para pemberontak pimpinan Raden Mas Said akan diberi hadiah berupa tanah seluas 3.000 cacah. Akhirnya, Sultan Hamengku Buwono I yang waktu itu masih bernama Mangkubumi berhasil merebut Sukowati dari tangan Raden Mas Said sekaligus mengusirnya pada tahun 1746, Dengan demikian, Mangkubumi lah yang berhak atas tanah seluas 3.000 cacah yang di janjikan itu. Akan tetapi, Pakubuwono II ternyata melanggar janjinya. Beliau tidak memberikan tanah seluas 3.000 cacah itu kepada adiknya, Mangkubumi, sebagai hadiah sayembara. Adapun yang menjadi penyebab Pakubuwono II melanggar janjinya adalah karena hasutan dari Patih Pringgalaya yang menyuruhnya untuk membatalkan perjanjian sayembara. Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Mangkubumi yang mendengar berita itu kemudian marah.

Puncak dari kemarahan dan sakit hati Mangkubumi terjadi ketika Surakarta kedatangan Gubernur Jenderal VOC bernama Baron van Imhoff. Sang gubernur VOC tersebut mendesak Pakubuwono II untuk menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real. Hal ini harus diterima oleh Surakarta untuk melunasi utang keraton kepada VOC. Namun, Mangkubumi menentang desakan gubernur VOC tersebut. Karena itu, terjadilah pertengkaran antara Baron van Imhoff dan Mangkubumi. Dalam pertengkaran itu, Baron menghina Mangkubumi di depan umum. Dan, sejak saat itu, Mangkubumi pergi dari Istana Surakarta dan bergabung dengan keponakannya, Raden Mas Said sebagai pemberontak. Mangkubumi kemudian menikahkan putrinya yang bernama Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro dengan Raden Mas Said sebagai tanda ikatan dari bergabungnya ke dalam kelompok pemberontak. Dari sini, Pakubuwono II dan Sultan Hamengku Buwono I berseteru dan saling berebut kekuasaan.

Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I bersama dengan Raden Mas Said melakukan pemberontakan melawan Pakubuwono II yang di dukung VOC. Pemberontakan ini lebih kepada Perang Saudara, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Suksesi Jawa III. Dalam perang tersebut, kekuatan Mangkubumi diperkirakan mencapai 13.000. Perang tersebut berlangsung dengan alot, dan Mangkubumi berhasil memenangkan setiap pertempuran. Karena sudah terdesak, seperti diceritakan sebelumnya, pihak VOC kemudian membuat langkah perdamaian dengan memberikan sebagian wilayah Surakarta kepada Mangkubumi. Karena itu, Mangkubumi lalu mendirikan Kesultanan Yogyakarta. Pada waktu pembagian wilayah ini, Surakarta sudah diperintah oleh putra mahkota, yakni Pakubuwono III. Sejak saat itu, Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkedudukan di Kesultanan Yogyakarta.

Berkat perjuangan gigih beliau melawan VOC di masa-masa kekuasaan beliau, Sri Sultan Hamengku Buwono I diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia jauh setelah kematian beliau, Seperti kita ketahui, Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Dan, nama beliau diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2006. Pengangkatan Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai Pahlawan Nasional bukan tanpa alasan. Sedikitnya ada tiga alasan utama yang membuat nama pendiri Kesultanan Yogyakarta ini pantas masuk dalam daftar para pahlawan nasional Indonesia, yaitu:  

  1. Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta.
  2. Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah raja termasyhur dari Kesultanan Yogyakarta, dan terbesar kedua dalam sejarah raja-raja Mataram Islam setelah Sultan Agung. Hal ini ditandai dengan keberhasilan beliau menjadikan Kesultanan Yogyakarta mengungguli Kesunanan Surakarta (yang sudah lebih dulu berdiri). Selain itu, kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwono I juga ditunjukkan oleh jumlah pasukan yang dimiliki jauh lebih besar daripada pasukan VOC di seluruh tanah Jawa.
  3. Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah sultan yang sangat membenci VOC. Meskipun beliau mengakhiri permusuhannya dengan VOC secara damai, namun bukan berarti beliau berhenti membenci VOC. Selama kepemimpinannya, beliau terus melawan VOC meskipun dengan cara yang lebih halus, misalnya Sri Sultan Hamengku Buwono I pernah mencoba memperlambat keinginan VOC untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan Keraton Yogyakarta, beliau juga pernah menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya, dan beberapa upaya perlawanan lainnya. Bahkan, dari pihak VOC sendiri, mereka mengakui bahwa musuh terbesar dan terberat yang pernah dihadapi di tanah Jawa adalah Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I.

Demikianlah tiga alasan yang membuat nama Sri Sultan Hamengku Buwono I masuk dalam daftar Pahlawan Nasional. Dengan berbagai perjuangan dan sumbangsih beliau bagi Kesultanan Yogyakarta, tidak berlebihan bila beliau menjadi salah satu pahlawan nasional.

Sri Sultan Hamengku Buwono I meninggal dengan mewariskan sejumlah karya arsitektur yang cukup monumental. Perlu diketahui bahwa Sultan Hamengku Buwono I tidak hanya bijaksana dan ahli dalam strategi perang, beliau juga adalah seorang pengagum keindahan. Peninggalan-peninggalan berupa arsitektur di masanya menjadi buktinya. Salah satu buah karya arsitektur monumental yang menjadi warisan atau peninggalan Sultan Hamengku Buwono I yang hingga kini masih bisa kita nikmati, adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta. Peninggalan ini kini menjadi salah satu objek wisata mengagumkan di Keraton Yogyakarta yang banyak dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

Setelah membangun Keraton Yogyakarta sebagai markas utama dari Kesultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I dalam pemerintahannya juga sempat ingin meluaskan wilayah Kesultanan Yogyakarta. Yang menjadi target Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah Surakarta, Bahkan, Sultan Hamengku Buwono I pernah melancarkan serangan untuk menyatukan kembali wilayah Mataram Islam yang terpecah belah itu. Hal ini tentu saja melanggar perjanjian damai yang telah dibuat. Namun, sayangnya cita-cita Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menyatukan kembali wilayah Mataram yang terpecah itu gagal setelah Surakarta dipimpin oleh Pakubuwono IV. Dalam upaya mewujudkan cita-citanya itu, Sultan Hamengku Buwono I sempat menggunakan cara perkawinan. Beliau berusaha agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwono III. Akan tetapi, upaya itu gagal total setelah Pakubuwono IV lahir untuk menggantikan ayahnya. Karena itu, pada masa Sultan Hamengku Buwono I, Kerajaan Yogyakarta tetap tidak bisa menaklukkan Surakarta.

Dalam memimpin Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I tidak bisa dikatakan gagal hanya gara-gara gagal menaklukkan (menyatukan) Surakarta. Justru, seperti dijelaskan sebelumnya, di bawah Sultan Hamengku Buwono inilah, Kesultanan Yogyakarta mulai berkembang pesat. Bahkan, kekuatan prajurit yang dimiliki Kesultanan Yogyakarta di masa itu jauh lebih besar daripada kekuatan VOC di seluruh tanah Jawa dan kekuatan Surakarta. Inilah yang kemudian membawa Sultan Hamengku Buwono I sebagai raja Yogyakarta terbesar kedua setelah Sultan Agung.
Kebesaran sosok Sultan Hamengku Buwono I juga terlihat dari caranya memimpin. Salah satu cara yang menjadi kebiasaan Sri Sultan Hamengku Buwono I selama memerintah Kesultanan Yogyakarta adalah menyelesaikan segala persoalan dengan cara berolah batin. Benar, Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah sosok sultan yang sangat tekun berolah batin untuk menenteramkan situasi yang kacau melalui bisikan gaib dari Tuhan. Inilah yang menjadi ciri khas dari sosok pendiri Kesultanan Yogyakarta tersebut, sehingga tidak berlebihan bila beliau di sandingkan dengan  Sultan Agung dari sisi kebesaran dan kehebatan memimpin.

3. Peran Sultan Hamengku Buwono I Dalam Dakwah Islam

Pada masa pemerintahan Hamengku Buwana I inilah Kyai Nur Iman Mlangi mengarahkan agar Raja membangun Empat Masjid besar untuk melengkapi dan mendampingi masjid yang sudah berdiri terlebih dahulu yaitu masjid yang berada di kampung Kauman , di samping kraton. Masjid yang akan dibangun tersebut disarankan oleh Kyai Nur iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Keempat masjid tersebut adalah :

  1. Di sebelah Barat terletak di dusun Mlangi
  2. Di sebelah Timur terletak di desa Babadan
  3. Di sebelah Utara terletak di desa Ploso Kuning
  4. Di sebelah Selatan terletak di desa Dongkelan.

Adapun pengurus masjid tersebut adalah Putra-putra Kyai Nur Iman Mlangi yakni :

  1. Masjid Ploso Kuning diurus oleh Kyai Mursodo
  2. Masjid babadan diurus oleh kyai Ageng Karang Besari
  3. Masjid Dongkelan diurus oleh Kyai Hasan Besari
  4. Masjid Mlangi diurus oleh Kyai Nur Iman Mlangi sendiri

Masjid - masjid tersebut kemudian terkenal dengan Masjid Kagungan Dalem atau Masjid Kasultanan, dan pengurus takmir pada saat itu termasuk abdi dalem kraton.

Di dalam perjalanannya, Masjid Pathok Negoro ini diserahkan kepada Kyai Nur Iman. Pada perkembangannya, Kyai Nur Iman menjadikan masjid ini sebagai tempat penyebaran ilmu-ilmu keagamaan seperti pesantren Mlangi yang beraliran Al-Sunnah wa Al-Jama’ah dan penguatan kebudayaan kraton. Maka tidak heran jika kita pergi ke sana, secara langsung akan melihat adanya perpaduan antara Islam dan budaya Jawa, seperti yang terlihat pada bentuk gapura yang khas Keraton Yogyakarta.

4.  Referensi

  1. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  3. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
  4. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  5. Marihandono, Djoko, dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Aji
  6. Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata