Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII

 
Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII

Daftar Isi Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
3.    Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
4.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII lahir pada tanggal 3 Maret 1880. Ayah beliau adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas. Beliau terlahir dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Sujadi. Setelah dewasa GRM Sujadi bergelar Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puruboyo yang kelak dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

1.2 Riwayat Keluarga
Dari pernikahannya, Sri Sultan Hamengku Buwono dikaruniai dua puluh empat putra dan tujuh belas putri, yaitu :

  1. Seorang putra (yang belum sempat diberi nama karena meninggal)
  2. BRM Mustari
  3. Mayor BRM Jartabitu atau Kanjeng Mas Pangeran Angabehi atau Gusti Pangeran Angabehi menikah denga BRA Siti Mustakirun
  4. Kapten BRM Sungangusamsi atau GBPH Purbaya menikah dengan BRA Madusari atau RAy Purbaya
  5. BRM Sumeru/GBPH Dhanupaya
  6. BRM Sudiarsa
  7. BRM Kartala atau GBPH Mangkudiningrat
  8. BRM Tinggartala atau GBPH Prabuningrat
  9. BRM Dorojatun atau GBPH Purbaya atau Sri Sultan Hamengku Buwono IX
  10. BRM Duryatnanu
  11. BRM Mahikyaun atau GBPH Surya Wijaya
  12. BRM Rais ul-Ngah Askari atau GBPH Bintara
  13. BRM Alpasuatlamin atau GBPH Surya Brangta
  14. BRM Mupasalukatini
  15. BRM Ila ul-Kirami atau GBPH Murdaningrat
  16. BRM Makan ul-Munayati atau BGBPH Puya Kusuma
  17. BRM Pel ul-Kuluki atau GBPH Suryaputra
  18. BRM Sunwata atau GBPH Adi Wijaya dari BRAy Ratna Puspita
  19. BRM Sahadatsatir
  20. BRM Hening atau GBPH Yudha Negara
  21. BRM Dr. Banakamsi atau GBPH Dr. Dipayana
  22. BRM Satriya atau GBPH Benawa
  23. BRM Danangjaya
  24. BRM Rabinharyani atau GBPH Puger
  25. BRA Gusti Siti Sundarumiya atau GKR Pembayun
  26. BRA Siti Sayadi atau GBRAy Sinduraja
  27. BRA Siti Sadaris atau GBRAy Purbawinata
  28. BRA Siti Kadarmi atau GBRAy Jaya ningrat
  29. BRA Siti Kajananywa atau GBRAy Jaya Winata
  30. BRA Siti Mutasangilun
  31. BRA Siti Nuriwadina atau GBRAy Chandradiningrat
  32. BRA Siti Kuswanayi atau GBRAy Cakradiningrat
  33. BRA Siti Sriwayati atau GBRAy Purbasaputra
  34. BRA Siti Swandari atau GBRAy Purwadiningrat
  35. BRA Siti Hilal ul-Ngasarati atau GBRAy Kusuma Adiningrat
  36. BRA Siti Sutyanti atau GBRAy Jayaningrat
  37. BRA Siti Padmasari ataubGBRAy Sumarman
  38. BRA Siti Wayarini
  39. BRA Siti Prayuti
  40. BRA Siti Widyastuti atau GBRAy Andayaningrat
  41. BRA Siti Sutarnin

1.3 Wafat
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII wafat pada tanggal 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.

Ada juga versi lain beliau wafat dalam sebuah perjalanan pulang dari Jakarta menuju Yogyakarta ketika menjemput putra mahkotanya dari negeri Belanda. Artinya, beliau meninggal saat berada di dalam kereta api (dalam perjalanan).

2.  Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Seperti kita ketahui, Belanda masih memiliki kuasa atas seluruh Raja-raja Jawa dalam hal pengangkatan dan penurunan putra mahkota. Belanda menganggap Sultan Hamengku Buwono VII sudah terlalu tua untuk memerintah kerajaannya dengan baik. Inilah salah satu alasan penurunan Sultan Hamengku Buwono VII dari tahta Yogyakarta. Selain alasan itu, alasan lain yang jauh lebih penting dan logis adalah karena Belanda merasa Sultan Hamengku Buwono VII sudah menunjukkan sikap yang bertentangan dan berseberangan dengan mereka.

Sikap Sultan Hamengku Buwono VII ini dapat dilihat dalam program reorganisasi agraria yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial ditanah-tanah Kesultanan Yogyakarta, yang ditentang oleh sang sultan. Dan, untuk mengatasi masalah ini, serta untuk memuluskan rencana Belanda menguasai tanah-tanah Jawa, dibuatlah keputusan untuk menurunkan Sultan Hamengku Buwono VII dan menggantinya dengan putra mahkota, Pangeran Puruboyo, yang saat itu masih berada di Belanda. Demikianlah beberapa alasan dari pergantian tahta yang “tidak wajar” ini.

Intinya, ada agenda terselubung dari Belanda di balik penggantian sultan Yogyakarta dari Sultan Hamengku Buwono VII ke Sultan Hamengku Buwono VIII. Segala cara pun dilakukan oleh Belanda melalui Residen Jonquiere untuk menurunkan Sultan Hamengku Buwono VII dari tahta Yogyakarta. Salah satu yang dilakukan Jonquiere adalah mendesak Sultan Hamengku Buwono VII agar memanggil putra mahkota pulang ke Yogyakarta. Waktu itu, putra mahkota, yakni Pangeran Puruboyo, masih berada di Belanda.

Perjalanan GPH. Puruboyo sebagai penerus tahta Kasultanan Ngayogyakarta sesungguhnya melalui jalan yang panjang. Awalnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII telah mengangkat putra sulung GKR Hemas, GRM Akhadiyat, sebagai putera mahkota. Akan tetapi, tidak lama setelah dinobatkan sebagai putera mahkota, GRM Akhadiyat sakit hingga meninggal dunia. Sri Sultan Hamengku Buwono VII kemudian mengangkat GRM Pratistha sebagai pengganti putera mahkota sebelumnya. Putera mahkota kedua yang juga bergelar Adipati Juminah ini di kemudian hari gelarnya dicabut karena alasan kesehatan. Posisi putera mahkota untuk yang ketiga kali kemudian jatuh kepada GRM Putro. Nasib baik tidak berpihak kepada GRM Putro yang juga meninggal dunia akibat sakit keras. Akhirnya, pilihan Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk didudukkan sebagai mahkota jatuh kepada GPH Puruboyo.

Tahun 1920 GPH. Puruboyo sedang menempuh studi di Belanda, ketika sang ayahanda Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengungkapkan niat untuk lengser keprabon. Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian tahta dipercepat.

Dikarenakan posisi GPH. Puruboyo masih di Belanda, maka van Limburg Stirum yang menyetujui gagasan tadi memerintahkan Jonquire agar mendesak Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk segera memanggil pulang GPH Puruboyo melalui telegram. Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyetujui usulan tersebut dan mengirimkan telegram pada awal November 1920. Di dalam telegram itu Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyampaikan agar Gusti Puruboyo jangan terlalu lama di Eropa karena para putera dan puteri, kerabat dan abdi dalem sudah menanti-nanti kepulangan beliau.

Residen menekankan bahwa pemanggilan putra mahkota dengan alasan untuk persiapan acara pelantikan menjadi calon raja (Pangeran Adipati Aryo Hamangkunagoro Sudibyo Rojoputro Narendro ing Mataram). Akhirnya, Sultan Hamengku Buwono VII pun memanggil putranya itu dengan mengirimkan sebuah telegram ke Belanda pada awal November 1920. Isi telegram itu sebagaimana tertuang dalam Serat Sapta Asta, Pupuh 1 Padha 4-6, yakni sebagai berikut:

“Kang binudi-budi pinrih dadi ing wak kula mengko jroning sasi Mulud tahun kiye 1851, lan Nopember warsi maksih ongko sewu 920 lumaris serat kabar criyos ing sarehne wus lami linggare saking nagri Ngayogya kinapti.

Ing rama jeng mulki, Sri HB ping VII kinon kondur away lami-lami neng Eropa manggon selak saya dahat wulangune. Putri Santana myang bretya pati ngayun-nayun sami tumuliya kundur.

Terjemahannya:

Yang dipuji-puji agar sukses olehku kelak di kemudian hari selama bulan Maulud tahun 1851 bulan November tahun 1920 masih berjalan surat kabar memberitakan bahwa karena sudah lama pergi. Dari negeri Yogyakarta selama ini ayahanda Sultan HB VII meminta pulang jangan terlalu lama tinggal di Eropa. Sebab semakin terasa rindunya para putri kerabat dan abdi raja semuanya menantikan kepulangannya.

Bunyi telegram balasan ini terdapat dalam Serat Sapta Asta, Pupuh 2 phada 9-11, yakni sebagai berikut:

“Angaturi wangsulan tinulis neng telegram kacaosaken dening jeng Tuwan Residen Pewe Sonkir malebet mring puri Samana wus panggih Lan Kanjeng Sang Prabu alon matur nyaosi udani tiligram kang suraos karsa kondur nanging panuwune sadurunge rawuh ing negari Ngayogya sang Pekik Kanjeng Sang Prabu den aturi jengkara rumiyin saking jro kadhaton lan karsa akaprabon sumereh mring kang gumanti aji lamun wus nglilani, makaten gya kundur. Jeng Gusti.”

Terjemahannya:

Memberikan jawaban tertulis lewat telegram, diserahkan oleh Tuan Residen PW. Jonquiere masuk ke keraton saat itu sudah bertemu dengan sang raja, berbicara pelan menyampaikan pesan telegram yang isinya bersedia bulang, tetapi sang putra meminta sebelum tiba di negeri Yogyakarta, sang raja sebaiknya meninggalkan keraton terlebih dahulu dari dalam kedhaton (tempat tinggal raja) dan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada putranya yang menggantikannya. Bila sudah berkenan, maka beliau akan segera pulang.

Demikianlah bunyi dari telegram balasan Pangeran Puruboyo kepada ayahandanya, Sultan Hamengku Buwono VIl. Setelah sang sultan menerima telegram tersebut, yang diserahkan oleh Jonquiere, pada akhirnya Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk mengakhiri masa jabatannya sebagai sultan. Ia pun menyerahkan tahtanya kepada putranya, Pangeran Puruboyo, dengan gelar Sultan Hamengku Buwono VIII. Sang sultan pun mengirimkan surat pengunduran diri kepada gubernur jenderal di Batavia. Sebab, waktu itu, pengangkatan dan penurunan raja adalah hak dari gubernur jenderal Belanda. Dengan demikian, pihak Belanda yang memang sudah merencanakan hal ini, langsung menyetujuinya dan mengangkat Pangeran Puruboyo sebagai penggantinya.

Setelah GPH Puruboyo setuju untuk pulang ke Yogyakarta dan dijadikan pengganti ayahandanya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memutuskan untuk lereh keprabon (turun tahta) dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarukmo. Pada tanggal 8 Februari 1921, GPH Puruboyo kemudian dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Ketika menjadi sultan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono VIII sama pedulinya seperti ayahnya terhadap pendidikan putra-putranya. Bahkan, bisa dibilang bahwa ia adalah satu-satunya sultan Yogyakarta yang sangat memperhatikan pendidikan putra-putranya, khususnya putra mahkota yang memang disiapkan sejak dini untuk menjadi pemimpin masa depan yang cakap. Kepedulian Sultan Hamengku Buwono VIII terhadap pendidikan putraputranya itu ditunjukkannya dengan mengirimkan putra-putranya ke sekolah hingga perguruan tinggi di Belanda.

Salah satu putranya yang memang disiapkan sejak dini dan dikirim ke sekolah tinggi di Belanda adalah Gusti Raden Mas Dorojatun yang kelak menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengku Buwono IX. Untuk menjadikan sang putra mahkota ini sebagai seorang pemimpin (sultan) yang cakap dan cerdas, maka Sultan Hamengku Buwono VIII mengirimnya ke sekolah di Universitas Leiden, Belanda.

Ketika GRM Dorojatun dan kakaknya, BRM Tinggarto (nama kecil GBPH Prabuningrat), akan berangkat ke Belanda, Sultan Hamengku Buwono VIII sempat berpesan, “Selama di negeri Belanda, buka pintu hatimu seluas-luasnya. Berupayalah agar kau benar-benar menyelami sifat-sifat orang Belanda. Karena, di masa depan, kau selalu  akan berurusan dengan mereka.” Demikianlah bunyi pesan Sultan Hamengku Buwono VIII kepada putranya. Pesan itu menyimpan makna yang sangat dalam, yang menjadi bukti kepedulian Sultan Hamengku Buwono VIII terhadap pendidikan dan masa depan putranya.

Dan, usaha Sultan Hamengku Buwono VIII untuk menyiapkan putra beliau menjadi pemimpin yang bijak, besar, dan cakap itu tidak sia-sia. Pasalnya, GRM Dorojatun kelak menjadi sultan yang sangat berwibawa dan cakap. Bahkan beliau lebih cakap dalam memerintah dibandingkan ayahnya. Hal itu mulai dibuktikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada masa awal pemerintahannya, ketika beliau berhasil mengalahkan ahli diplomasi Belanda, Dr. Lucien Adams,  dalam pembahasan kontrak politik. Akibatnya, kontrak politik yang berlangsung selama empat bulan itu tidak membuahkan kesepakatan.

Ketika masih di Batavia, Sultan Hamengku Buwono VII telah menyerahkan keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada GRM Dorojatun. Penyerahan itu sekaligus sebagai tanda suksesi kerajaan, dan DRM Dorojatun adalah pewaris tahta Yogyakarta setelah sang sultan wafat. Dan, benar saja, ketika sampai di Yogyakarta, maka diangkatlah DRM Dorojatun sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono IX.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Sultan Hamengku Buwono VIII adalah sultan yang namanya tidak terlalu mengaum. Dengan kata lain, Sultan Hamengku Buwono VIII tidak sepopuler Sultan-sultan Yogyakarta sebelumnya. Namun demikian, di masa pemerintahannya selain melanjutkan kejayaan yang telah dicapai oleh ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VII, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan, Sultan Hamengku Buwono VIII banyak melakukan rehabilitasi bangunan. Ada beberapa bangunan Keraton Yogyakarta yang telah direhabilitasi olehnya, di antaranya Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.

Selain melakukan rehabilitasi bangunan tersebut, pencapaian lain Sultan Hamengku Buwono VIII adalah di bidang keorganisasian. Hal ini ditandai dengan kiprahnya dalam mendukung perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam membidani lahirnya Muhammadiyah. Dengan dukungan ini, Sultan Hamengku Buwono VIII menjadi orang pertama dari kalangan politikus papan atas Kesultanan Yogyakarta yang berperan dalam perkembangan organisasi Islam Muhammadiyah.

Kekayaan keraton yang cukup besar kala itu, dimanfaatkan sebanyak-banyaknya oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII untuk mendorong dunia pendidikan. Seperti ayahandanya, beliau juga mengharuskan putra-putrinya untuk menempuh pendidikan formal setinggi mungkin, bahkan bila perlu hingga ke Negeri Belanda.

Sekolah-sekolah, organisasi dan munculnya aktivis banyak berkembang di masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII . Sekolah Taman Siswa Nasional (berdiri 3 Juli 1922), Organisasi Politik Katholik Jawi (1923) dan Kongres Perempuan (1929) adalah salah satu contohnya.

Perhatian beliau di dunia kesehatan juga sangat besar, misalnya dengan mendukung pengadaan ambulans untuk Rumah Sakit Onder de Bogen (saat ini: Panti Rapih).

Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak mengadakan perombakan/rehabilitasi bangunan. Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Danapratapa dan Masjid Gede adalah beberapa bangunan yang beliau perbaiki.

Di dalam lingkungan keluarganya sendiri, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga banyak melakukan terobosan. Hal tersebut terjadi bahkan semenjak sebelum menjadi Sultan. Salah satunya adalah dengan “menitipkan” anak-anaknya di luar lingkungan keraton. BRM Dorodjatun, yang kelak menjabat sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dari umur 4 tahun sudah dititipkan ke keluarga Belanda. Tidak ada inang atau pengasuh yang menjaga. Pangeran kecil itu dituntut untuk hidup mandiri dan merasakan hidup sebagaimana kebanyakan masyarakat pada umumnya.

Langkah-langkah yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII tersebut adalah cerminan dari sikap beliau yang berpedoman pada ungkapan “wong sing kalingan suka, ilang prayitane”, orang yang sudah merasakan nikmat akan hilang kewaspadaannya.

Pada tahun 1939, beliau memanggil putranya, BRM Dorodjatun yang sedang belajar di Negeri Belanda. Setelah keduanya bertemu di Batavia, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII kemudian menyerahkan pusaka keraton Kyai Joko Piturun kepada BRM Dorojatun. Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa BRM Dorojatun telah ditunjuk menjadi penerus tahta sepeninggal beliau.

3. Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Di masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Yogyakarta mengalami kemajuan pesat di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang arsitektur, bentuk fisik kraton saat ini adalah hasil perombakan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Di bidang seni tari, banyak sekali tarian diciptakan pada era kepemimpinan beliau. Diantaranya adalah Beksan Srimpi Layu-layu, Beksan Gathutkaca-Suteja, Bedaya Gandrung Manis, Bedaya Kuwung-Kuwung dan masih banyak lagi. Pada masa ini pula, pembakuan terhadap pakem tari klasik Gaya Yogyakarta dimulai.

Masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII juga dikenal sebagai masa keemasan pentas wayang wong. Pementasan wayang orang besar-besaran hingga memakan waktu tiga hari banyak dan sering dilakukan di era ini. Lebih dari 20 lakon dikembangkan pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.

Dari segi busana untuk Tari Bedaya, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII melakukan perubahan besar. Karya Tari Bedaya yang lahir pada era ini tidak menggunakan kampuh dan paes ageng. Di masa ini penari menggunakan jamang dan bulu-bulu, baju tanpa lengan serta kain seredan.

4.  Referensi

  1. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  3. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
  4. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  5. Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata
  6. https://www.kratonjogja.id/
  7. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  8. Fredy Heryanto. 2007. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat