Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VI

 
Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VI

Daftar Isi Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VI

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono VI
3.    Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VI
4.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Sri Sultan Hamengku Buwono VI dilahirkan dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Mustojo pada tanggal 10 Agustus 1821, beliau adalah putera dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono. Pada tahun 1839 ketika sudah berganti nama menjadi Pangeran Adipati Mangkubumi beliau mendapat pangkat Letnan Kolonel dari pemerintah Hindia Belanda. Kelak pangkat beliau naik menjadi Kolonel pada tahun 1847.

1.2 Riwayat Keluarga
Dari pernikahannya, Sri Sultan Hamengku Buwono dikaruniai dua puluh tiga putra dan putri yaitu :

  1. Gusti Raden Mas Murteja. Naik takhta sebagai Hamengkubuwana VII
  2. Bendara Raden Mas Sulaiman. Meninggal pada usia muda
  3. Bendara Pangeran Harya Purbaya
  4. Gusti Pangeran Harya Surya Mataram
  5. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. beliau adalah kakek Hamengkubuwana IX dari pihak ibu.
  6. Bendara Pangeran Harya Hadiwinata
  7. Bendara Pangeran Harya Hadiwijaya
  8. Gusti Pangeran Harya Bumi Nata
  9. Gusti Pangeran Harya Puger
  10. Gusti Pangeran Harya Suryaputra
  11. Gusti Pangeran Harya Anom
  12. Bendara Raden Ajeng Samilah. Meninggal pada usia muda
  13. Gusti Kanjeng Ratu Hangger. Menikah dengan Kanjeng Raden Adipati Danureja VI, Patih Yogyakarta.
  14. Gusti Kanjeng Ratu Pembayun. Menikah dengan Kanjeng Raden Adipati Danureja V, Patih Kesultanan Yogyakarta.
  15. Gusti Kanjeng Ratu Anom. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Dhanuningrat
  16. Bendara Raden Ayu Purwadiningrat. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purwadiningrat
  17. Gusti Kanjeng Ratu Hayu. Menikah dengan Paku Alam IV lalu bercerai kemudian menikah lagi dengan Raden Mas Adipati Harya Hadiningrat atau Kanjeng Pangeran Harya Chandranegara IV, Bupati Demak. beliau adalah nenek Raden Ajeng Kartini dari pihak ayah.
  18. Gusti Kanjeng Ratu Bendara. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Wijil
  19. Gusti Raden Ajeng Kusdilah. Meninggal pada usia muda
  20. Gusti Kanjeng Ratu Sasi. Menikah dengan Kanjeng Bendara Pangeran Harya Suryaning-Ngalaga putra Hamengkubuwana V, kemudian dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryadirja atau Kanjeng Raden Tumenggung Jayawinata
  21. Bendara Raden Ayu Natayudha. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Natayudha
  22. Bendara Raden Ayu Mangkuyudha. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuyudha
  23. Bendara Raden Ayu Suryamurcita. Menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryamurcita

1.3 Wafat
Pada tanggal 20 Juli 1877 (9 Rejeb 1806 TJ), ketika beliau menginjak usia 56 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VI tutup usia. Beliau dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri.

2.  Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono VI
Sri Sultan Hamengku Buwono VI memerintah Kesultanan Yogyakarta selama 22 tahun sejak 1855 sampai 1877. Masa jabatannya merupakan masa jabatan yang cukup panjang bila dibandingkan dengan beberapa sultan sebelumnya. Beliau kemudian berjuluk Sinuhun Mangkubumi.

Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono V wafat dalam kondisi tidak meninggalkan putera. Selang 13 hari kemudian, baru sang permaisuri GKR Sekar Kedaton, melahirkan seorang putera yang diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Timur Muhammad yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryaning Ngalaga ketika sudah dewasa. Untuk mengatasi kekosongan pemerintahan pada waktu itu, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan Pangeran Adipati Mangkubumi sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang dinobatkan pada tanggal 5 Juli 1855.

Menginjak usia 27 tahun, beliau menikah dengan GKR Kencono yang merupakan puteri dari Susuhunan Paku Buwono VIll dari Surakarta. Sebagai permaisuri Sultan Hamengku Buwono VI, Ratu Kencono bergelar GKR Hamengku Buwono. Pernikahan tersebut menjadi sejarah terjalinnya kembali hubungan baik di antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang sejak Perjanjian Giyanti sering terjadi ketegangan. Hubungan baik dengan kerajaan lain juga semakin terjalin setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI menikahi puteri dari Kerajaan Brunei.

Pola pemerintahan yang dilaksanakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono Vi pada dasarnya melanjutkan model yang dijalankan oleh kakak beliau, perang pasif. Hal ini cukup berbeda dengan sikap beliau sebelum naik tahta, dimana beliau cukup keras menentang sikap sang kakak. Perubahan sikap ini kiranya yang menimbulkan kekecewaan dan akhirnya memunculkan gejolak di Kasultanan. Kebetulan beliau didampingi oleh Patih Danurejo V yang terkenal pandai dalam hal siasat, sehingga banyak permasalahan sulit yang dapat terselesaikan.

Namun, hubungannya dengan Belanda tidak berlangsung lama. Pelan tapi pasti, Sultan Hamengku Buwono VI mulai meninggalkan Belanda. Sehingga, timbullah konflik atau perselisihan antara Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia-Belanda. Keraton Yogyakarta kemudian mendapatkan simpati dan dukungan dari kerajaan-kerajaan lain yang juga memusuhi pemerintah Belanda. Tampaknya, inilah salah satu kesuksesan dari pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI dalam memimpin Kesultanan Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, terjadi bencana alam yang memilukan. Gempa dengan kekuatan dahsyat menggoncang bumi Yogyakarta pada tanggal 10 Juni 1867. Tercatat gempa mengakibatkan sekitar 500 korban jiwa. Selain itu, gempa juga memporak porandakan 327 bangunan termasuk bangunan keraton. Tugu Golog Giling (sekarang Tugu Jogja) yang tadinya menjulang 25 meter, rusak parah. Demikian juga bangunan Tamansari  mengalami Kerusakan hebat, hal yang sama melanda Masjid Gedhe dan Loji Keci (sekarang istana kepresidenan Gedung Agung). Perbaikan atas kerusakan-kerusakan tersebut membutuhkan waktu lama. Bahkan, Tugu Golong Gilig baru selesai proses pembangunan ulangnya di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIl. “International Handbook of Earthquake ano Engineering Seismology” mencatat gempa waktu itu memiliki kekuatan sebesar 6,8 SR.

Sedemikian traumatisnya peristiwa tersebut sehingga Sri Sultan Hamengku Buwono VI meminta agar peristiwa tersebut tidak usah diingat-ingat dan meyakinkan penduduk bahwa peristiwa seperti itu hanya akan terjadi sekali, tidak akan terulang lagi. Itulah mengapa catatan mengenai gempa ini hanya berada dalam ingatan-ingatan, tidak ada catatan atasnya secara rinci di karya-karya pujangga keraton.

3. Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VI
Sri Sultan Hamengku Buwono VI meninggalkan dua buah karya seni tari, yaitu Tari Bedhaya Babar Layar dan Tari Srimpi Endra Wasesa. Di masa beliau pula, dipesan kereta Kyai Wimono Putro yang nantinya menjadi kereta yang dipergunakan ketika diadakan upacara pelantikan putra mahkota menjadi Sultan. Adapun kereta kebesaraan beliau sendiri, yang nantinya dipakai hingga sekarang, adalah Kyai Kanjeng Garudho Yakso.

4.  Referensi

  1. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  3. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
  4. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  5. Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata
  6. https://www.kratonjogja.id/
  7. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  8. Fredy Heryanto. 2007. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat