Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VII

 
Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VII

Daftar Isi Biografi Sri Sultan Hamengku Buwono VII

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono VII
3.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Gusti Raden Mas (GRM) Murtejo, demikian nama kecil beliau, lahir pada tanggal 4 Februari 1839 dari rahim Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sultan. GKR Sultan merupakan permaisuri kedua Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Permaisuri pertama, GKR Hamengku Buwono, yang merupakan puteri Paku Buwono VIII dari Surakarta tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karena itu, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VI wafat, GRM Murtejo menggantikan posisi ayahandanya sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 13 Agustus 1877

1.2 Riwayat Keluarga
Dari pernikahan beliau, Sri Sultan Hamengku Buwono VII di karuniai tujuh puluh enam putra dan putri, yaitu :

  1. Gusti Raden Mas Akhadiyat gelar beliau adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro I
  2. Gusti Raden Mas Puntoaji gelar beliau adalah Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangkukusumo
  3. Gusti Raden Mas Putro gelar beliau adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro III
  4. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryodiningrat
  5. Gusti Pangeran Haryo Puruboyo gelar beliau adalah Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono Vlll
  6. Bendoro Raden Mas Kudiarmadji atau Notodongso gelar beliau adalah Bendoro Pangeran Haryo Suryomataram
  7. Gusti Raden Mas Hario gelar beliau adalah Bendoro Pangeran Haryo Hadikusumo II
  8. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Jumino atau Gusti Raden Mas Pratisto atau Gusti Djuminah
  9. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Hadinegoro I
  10. Bendoro Raden Mas Sujanadi atau Bendoro Pangeran Haryo Hadinegoro II
  11. Gusti Kanjeng Ratu Hemas menikah dengan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X atau Sunan Panutup atau Raden Mas Malikul Kusno
  12. Gusti Bendoro Raden Ayu Danunegoro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Danunegoro
  13. Gusti Kanjeng Ratu Chondrokirono II menikah dengan Kanjeng Raden Adipati Danurejo VIII atau Subari Wiro Haryodirgo Danurejo VI (ada juga sumber lain yang menyebutkan bahwa beliau menikah dengan Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII atau Raden Mas Subari)
  14. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Hangabehi
  15. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Joyokusumo I
  16. Gusti Raden Mas Sugiri gelar beliau adalah Gusti Pangeran Haryo Tejokusumo
  17. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Pakuningrat
  18. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Hadisuryo
  19. Bendoro Raden Mas Hirawan
  20. Bendoro Raden Ayu Purbonegoro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purbonegoro
  21. Gusti Bendoro Raden Ayu Danuhadiningrat I menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Danuhadiningrat
  22. Bendoro Raden Mas Subono
  23. Gusti Kanjeng Ratu Condrokirono I menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Brongtokusumo
  24. Raden Ayu Soeharsi Widianti gelar beliau adalah Bendoro Raden Ayu Jatikusumo menikah dengan Kanjeng Pangeran Haryo Djatikusumo (ada juga sumber lain yang menyebutkan beliau menikah dengan Bendoro Kanjeng Pangeran Haryo Purbonegoro)
  25. Bendoro Raden Ajeng Mursudarya gelar beliau adalah Gusti Kanjeng Ratu Timur menikah dengan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII
  26. Bendoro Raden Ayu Jogonegoro atau Bendoro Raden Ayu Ronodiningrat menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Jogonegoro III atau Kanjeng Raden Tumenggung Ronodiningrat
  27. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryowijoyo
  28. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro I menikah dengan Kanjeng Pangeran Haryo Suryadi
  29. Gusti Kanjeng Ratu Hangger menikah dengan Raden Mas Sayid Imran atau Kanjeng Raden Tumenggung Purwonegoro
  30. Bendoro Raden Ayu Mangunkusumo menikah dengan  Kanjeng Pangeran Haryo Mangunkusumo
  31. Raden Ayu Kanjeng Gusti gelar beliau adalah Bendoro Raden Ajeng Kusjinah menikah dengan Raden Mas Muhammad gelar beliau adalah Kanjeng Gusti Timur Muhammad Suryengalogo
  32. Gusti Raden Ayu Pembayun gelar beliau adalah Bendoro Raden Ayu Gusti Timur menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Sindurejo
  33. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Hadikusumo I
  34. Bendoro Raden Ajeng Partilah
  35. Gusti Bendoro Raden Ayu menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuyudo
  36. Gusti Bendoro Raden Ayu Sosronegoro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Sosronegoro.
  37. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro III menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Puspodiningrat
  38. Bendoro Raden Ajeng Murlintangpajar
  39. Gusti Bendoro Raden Ayu Brongtodiningrat I menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Brongtodiningrat
  40. Gusti Bendoro Raden Ayu Joyodipuro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Joyodipuro
  41. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Suryobrongto
  42. Gusti Raden Ajeng Mursamsilah
  43. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro II menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Puspodiningrat
  44. Gusti Bendoro Raden Ayu Prawirodiningrat gelar beliau adalah Bendoro Raden Ayu Nitiprojo menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Nitiprojo (ada sumber lain yang menyatakan bahwa beliau menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Prawirodiningrat)
  45. Gusti Kanjeng Ratu Hanom menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryoatmojo (ada sumber lain yang menyatakan bahwa beliau menikah dengan Kanjeng Pangeran Haryo Suryadi
  46. Gusti Bendoro Raden Ayu Wiryokusumo gelar beliau adalah Bendoro Raden Ayu Condroprojo menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Condroprojo (ada sumber yang menyatakan bahwa beliau menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Wiryokusumo.
  47. Bendoro Radem Mas Samsuyobali
  48. Bendoro Raden Mas Sumaulngirki
  49. Bendoro Raden Mas Pujiarjo
  50. Bendoro Raden Mas Prawoto
  51. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Buminoto
  52. Bendoro Raden Ajeng Murharidah
  53. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Joyokusumo II
  54. Gusti Raden Mas Suhardi
  55. Gusti Pangeran Haryo Notoprojo
  56. Bendoro Raden Mas Timur
  57. Bendoro Raden Ajeng Murtinah
  58. Gusti Raden Ajeng Murhadiyah
  59. Gusti Raden Mas Sukirno
  60. Gusti Kanjeng Ratu Dewi menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Wijil II
  61. Gusti Bendoro Raden Ayu Condronegoro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Condronegoro
  62. Gusti Kanjeng Ratu Ayu menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Yudonegoro III atau Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VII
  63. Gusti Kanjeng Ratu Hangger II menikah dengan Bendoro Raden Mas Abimanyu gelar beliau adalah Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudo
  64. Gusti Bendoro Raden Ayu Suronegoro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suronegoro
  65. Bendoro Raden Ayu Cokdrodiningrat gelar beliau adalah Gusti Bendoro Raden Ayu Yudonegoro II menikah dengan Pangeran Haryo Cakraningrat gelar beliau adalah Kanjeng Raden Adipati Danurejo VI atau Kanjeng Pangeran Haryo Yudonegoro II
  66. Gusti Bendoro Raden Ayu Danuhadiningrat II menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Danuhadiningrat
  67. Gusti Kanjeng Ratu Maduretno gelar beliau adalah Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton menikah dengan  Kanjeng Pangeran Haryo Purwodiningrat gelar beliau adalah Kanjeng Raden Tumenggung Kertonegoro
  68. Gusti Bendoro Raden Ayu Suryonegoro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryonegoro
  69. Gusti Bendoro Raden Ayu Brongtodiningrat menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Brongtodiningrat atau Kanjeng Pangeran Haryo Brongtodinigrat
  70. Gusti Bendoro Raden Ayu Suryowinoto menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Suryowinoto. Notoyudan, Yogyakarta
  71. Gusti Bendoro Pangeran Haryo Hadiwinoto
  72. Gusti Bendoro Raden Ayu Mangunnegoro menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Mangunnegoro
  73. Gusti Bendoro Raden Ayu menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purwonegoro
  74. Gusti Bendoro Raden Ayu Padmodiningrat menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Padmodiningrat
  75. Gusti Bendoro Raden Ayu Purbodirjo menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Purbodiryo
  76. Gusti Bendoro Raden Ayu menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Pringgodiningrat

1.3 Wafat
Sri Sultan Hamengku Buwono VII adalah salah satu dari tiga sultan Yogyakarta yang meninggal di luar Keraton Yogyakarta, di luar rumahnya sendiri. Beliau meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukmo pada tanggal 30 Desember 1931, sepuluh tahun setelah lengser dari tahta, dan dimakamkan di pemakaman Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta. Pesanggrahan Ngambarrukmo itu hingga kini masih tetap terpelihara. Letaknya sekarang berada di antara Royal Ambarrukmo Yogyakarta (RAY) dan Ambarukmo Plaza.

2.  Perjalanan Hidup Sri Sultan Hamengku Buwono VII

Sejarah mencatat bahwa Sultan Hamengku Buwono VII telah menorehkan tinta baru bagi perkembangan Kesultanan Yogyakarta. Di bawah pemerintahan beliau, Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan dan kemajuan. Bila dibandingkan dengan masa ayahnya, maka Keraton Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwono VII jauh lebih berkembang.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII bernama asli Gusti Raden Mas Murtejo. Beliau memerintah Kesultanan Yogyakarta setelah ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VI, wafat. Pemerintahannya berlangsung lebih lama dari pemerintahan ayahnya, yakni selama 43 tahun dari 1877 sampai 1920. Dalam masa yang sangat panjang itu, banyak kemajuan dan prestasi yang berhasil ditorehnya untuk kejayaan Kesultanan Yogyakarta pada umumnya dan untuk keutuhan dinasti Hamengku Buwono pada khususnya. Dan, beliau adalah satu-satunya sultan Yogyakarta yang menyerahkan tahta kerajaan sewaktu masih hidup.

Dengan kata lain, pergantian kekuasaan dari Sultan Hamengku Buwono VII ke Sultan Hamengku Buwono VIII berlangsung ketika Sultan Hamengku Buwono VII masih hidup. Inilah salah satu hal yang membedakan pemerintahannya dengan pemerintahan sultan-sultan sebelumnya; pergantian kekuasaan terjadi setelah sultan meninggal. Sultan Hamengku Buwono VII memiliki beberapa julukan lain, di antaranya Sinuhun Behi dan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.

Julukan Sultan Sugih diberikan kepadanya karena beliau merupakan Sultan yang sangat kaya atau terkaya dibanding sultan-sultan sebelumnya. Kekayaannya itu diperoleh dari hasil mendirikan banyak pabrik gula di Yogyakarta, yakni sebanyak 17 pabrik. Dan, setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepada beliau untuk menerima dana sebesar F 200.000,-. Dengan pemasukan itu, maka beliau pun menjadi sangat kaya.

Dalam proses pergantian kekuasaan alias kenaikan tahta Sultan Hamengku Buwono VII, sempat terjadi perselisihan dan konflik perihal putra mahkota. Artinya, posisi putra mahkota menjadi perebutan beberapa keluarga keraton. Salah satu penyebab terjadinya perebutan tahta ini adalah karena Sultan Hamengku Buwono VI tidak memiliki putra dari permaisuri utama. Seperti diketahui, yang berhak menjadi putra mahkota adalah putra dari permaisuri utama. Karena itu, Sultan Hamengku Buwono VI menjatuhkan pilihan pada putra sulung dari selirnya.

Sultan Hamengku Buwono VII, atau yang waktu itu bernama Gusti Raden Mas Murtejo, adalah putra sulung yang diangkat menjadi putra mahkota. Hal ini pun disetujui oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Residen Yogyakarta A.J.D.H.P. Bosch, pada tanggal 17 April 1872. Meskipun status putra mahkota telah diperolehnya, proses menuju kenaikan tahta tidak berlangsung lancar. Setidaknya, ada dua tantangan bagi GRM Murtejo untuk menuju tahta.

Pertama, tantangan internal. Tantangan ini berasal darj dalam keluarga keraton sendiri. Sebab, waktu itu ada calon lain yang diusulkan menjadi pewaris tahta Yogyakarta, Usul calon lain itu datang dari Kanjeng Ratu Kedaton salah satu permaisuri Sultan Hamengku Buwono V yang kemudian diambil selir oleh Sultan Hamengku Buwono VI. Dengan demikian, Kanjeng Ratu Kedaton termasuk orang yang menentang pengangkatan GRM Murtejo ke tahta kerajaan. Menurutnya, yang lebih tepat menjadi putra mahkota adalah putranya, Raden Mas Mohammad alias Pangeran Suryaningalogo. Namun, posisi Pangeran Suryaningalogo tidak sekuat GRM Murtejo.

Pasalnya, Pangeran Suryaningalogo hanyalah keponakan dari Sultan Hamengku Buwono VI dan tidak wajar bila seorang keponakan menggantikan tahta pamannya, padahal masih ada pewaris atau keturunan dari sang paman. Selain itu, status Kanjeng Ratu Kedaton adalah sebagai selir muda bila dibandingkan dengan Ratu Kencono. Maka dari itu, status Pangeran Suryaningalogo tidak bisa sekuat GRM Murtejo. Hal ini mengakibatkan dukungan politik kepadanya sebagai calon pewaris tahta melemah.

Kedua, tantangan eksternal. Tantangan ini berasal dari luar keluarga keraton, yakni pemerintah HindiaBelanda. Tantangan ini bukan lagi soal calon pewaris tahta tandingan, melainkan lebih kepada keinginan Belanda untuk menguasai tanah Jawa dan mengintervensi raja-raja Jawa. Untuk memuluskan keinginannya itu, setelah Sultan Hamengku Buwono VI wafat, Belanda turut mendukung pengangkatan GRM Murtejo sebagai penggantinya. Akan tetapi, tentu saja Belanda ingin mencari untung dari proses pengangkatan GRM Murtejo ini.

Karena itu, Residen A.J.B. Wattendorf diperintahkan oleh pemerintah Belanda untuk menekan putra mahkota tersebut agar bersedia membahas sejumlah masalah yang diminta pemerintah pusat di Batavia, yaitu mengenai perubahan dalam bidang sistem peradilan, penegakan hukum, dan sejumlah persoalan lain yang perlu diperbarui. Karena tidak memiliki pilihan lain, GRM Murtejo yang sudah bergelar Sultan Hamengku Buwono VII pun mau tidak mau menerimanya tanpa meninggalkan prinsip ayahnya, yaitu bahwa wewenang raja tetap harus ditegakkan dalam hal penegakan hukum karena menyangkut wilayah kekuasaannya.

Wattendorf tidak bisa berbuat banyak dan kemudian melaporkan tuntutan Sultan Hamengku Buwono VII kepada Gubernur Jenderal J.W. van Landsberge. Sebagai jalan keluar untuk masalah itu, maka dibuatlah suatu perjanjian antara pemerintah kolonial dan Sultan Hamengku Buwono VII sebelum beliau menduduki tahta. Sultan Hamengku Buwono VII bersedia menerima tuntunan Belanda dengan syarat bahwa beliau akan menandatanganinya setelah dikukuhkan secara resmi sebagai calon pewaris tahta. Syarat itu pun dipenuhi oleh Belanda. Pada tanggal 7 Agustus 1877, Sultan HB VII ditetapkan sebagai Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rojo Putro Narendro Mataram ing Ngayogyakarta Adiningrat bertempat di bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta.

Dalam upacara tersebut, selain Residen Wattendorf yang mewakili gubernur jenderal dan para pejabat Belanda lainnya, juga hadir adik Sultan Hamengku Buwono VII, yaitu Pangeran Haryo Mangkubumi, Patih Raden Adipati Danureja VI, dan para bangsawan Jawa lainnya. Kemudian, setelah upacara penetapan itu, Sultan Hamengku Buwono VII disodori perjanjian yang berisi beberapa pasal.

Berikut terjemahan dari pasal-pasal yang dimaksud, antara lain:

Pasal 1: “Perbaikan aparat keamanan dan hukum serta peradilan dalam perkara keamanan atau pidana, baik dengan penempatan para asisten residen di wilayah pedalaman maupun dengan cara lain.”

Pasal 2: “Saya berjanji bekerja sama dalam merawat jalan-jalan dan jembatan-jembatan sejauh saya memiliki sarana untuk itu.” Pasal ini menyangkut infrastruktur fisik yang ada di wilayah Kesultanan Yogyakarta.

Pasal 3:  “Mendorong kerja wajib penduduk di tanah-tanah yang disewakan kepada orang Eropa dan orang-orang yang di persamakan dengan mereka oleh para pemilik tanah; saya akan menyerahkan sengketa yang muncul dari situ sepenuhnya kepada keputusan pemerintah.”

Pada pasal ini, terlihat betapa semakin melemahnya wewenang dan kontrol raja atas para penyewa tanah. Sebaliknya, pihak pemerintah kolonial memiliki wewenang yang lebih kuat terhadap persewaan tanah tersebut. Di samping itu, pasal 3 ini menunjukkan juga kelemahan dari Sultan Hamengku Buwono VII terhadap tuntutan kerja wajib penduduk yang ditujukan bagi kepentingan penyewa tanah.

Kerja wajib ini bukan merupakan kerja untuk kepentingan komunal seperti kerja bakti (gugur gunung, kerig aji, wilah welit), melainkan kerja wajib demi kepentingan penguasa atau penggantinya.” Ditinjau dari aspek hubungan kekuasaan, pasal ini secara de facto mengakui adanya dominasi oleh para penyewa tanah asing mengingat kerja wajib hanya diperuntukkan bagi raja atau pemegang tanah-tanah apanage.”

Itulah dua tantangan yang harus dihadapi oleh Sultan Hamengku Buwono VII dalam proses pengangkatan diri beliau sebagai sultan Yogyakarta menggantikan Sultan Hamengku Buwono VI. Setelah menghadapi tantangan terakhir dari pihak Belanda itu, Sultan Hamengku Buwono VII dikukuhkan sebagai Sultan Yogyakarta sejak tanggal 13 Agustus 1877. Kenaikan beliau di kursi Kesultanan Yogyakarta menandai awal era baru dalam Sejarah Keraton Yogyakarta di berbagai bidang, termasuk hubungan beliau dengan pemerintah kolonial dan penguasa pribumi lainnya di Jawa.

Terlepas dari semua itu, Sultan Hamengku Buwono VII adalah sultan Yogyakarta yang menjadi pioner bagi lahirnya modernisasi di Yogyakarta. Hal itu ditunjukkan oleh berdirinya banyak pabrik gula dan sekolah modern. Bahkan, beliau menyekolahkan putra-putra beliau hingga ke negeri Belanda, termasuk putra mahkotanya yang kelak menggantikan posisinya sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono VIII. Dengan demikian, di bawah pemerintahannya, Kesultanan Yogyakarta mengalami kemajuan dan perkembangan yang cukup pesat.

Meskipun Kesultanan Yogyakarta mengalami kemajuan yang pesat di masa pemerintahannya, tetap saja terjadi gejolak politik di dalam keluarga Sultan Hamengku Buwono VII sendiri. Gejolak politik itu terkait dengan perebutan tahta kerajaan atau ahli waris kerajaan.

Menurut cerita, permaisuri sultan yang bernama Ratu Kencono ingin agar putranya, Pangeran Adipati Mangkukusumo, menjadi putra mahkota. Padahal, gelar putra mahkota sudah diberikan kepada Pangeran Adipati Puruboyo. Perselisihan itu semakin memanas ketika Pangeran Adipati Puruboyo dikirim ke Belanda untuk belajar. Tetapi, upaya Ratu Kencono untuk menjadikan Adipati Mangkukusumo_ sebagai pewaris tahta mengalami kegagalan. Karena itu, sang ratu pun memperjuangkan agar putranya memperoleh kedudukan tinggi di Keraton, meskipun bukan putra mahkota.

Pangeran Mangkukusumo sendiri tidak begitu berhasrat untuk menjadi putra mahkota. Bahkan, semangatnya dalam menuntut menjadi pewaris tahta semakin menurun setelah melihat kondisi fisik ibunya yang terus menurun. Sejak itu, praktis keinginan dirinya menjadi calon pewaris tahta sudah pupus. Namun demikian, Sultan Hamengku Buwono VII tetap memperhatikan nasib putranya ini dan memberikan kedudukan sebagai calon Pangageng Keraton, yaitu Kepala Bagian Pemerintahan Umum Kesultanan Yogyakarta, dengan kewenangan mewakili sultan dalam melakukan kunjungan ke daerah kekuasaannya.

Selain itu, beliau juga diberi mandat oleh sultan untuk hadir dalam perundingan-perundingan penting dengan pemerintah Belanda ataupun dengan pihak keraton lainnya, seperti Pakualaman, Kesunanan Surakarta, dan Mangkunegaran. Dengan demikian, posisi putra mahkota tetap kukuh di tangan Pangeran Adipati Puruboyo.

Mungkin, nasib yang lebih buruk dialami oleh putra Sultan Hamengku Buwono VII lainnya, yakni Pangeran Suryo Mataram. Sebab, padatahun 1920, Sultan Hamengku Buwono VII terpaksa mencabut status kebangsawanannya. Hal itu merupakan peristiwa yang sangat memukul kondisi fisik dan batin sang Sultan. Adapun alasan di balik pencabutan status kebangsawanan Pangeran Suryo Mataram adalah karena sang pangeran ini dituduh merencanakan makar terhadap pemerintah kolonial. Karena itu, untuk menyelamatkannya dari hukuman atas tuduhan tersebut, dengan sangat terpaksa, Sultan Hamengku Buwono VII mencabut status kebangsawanannya.

Sebagai akibat dari pencabutan status kebangsawanan itu, Pangeran Suryo Mataram hidup dalam pembuangan dan pengasingan. Setelah pangeran Suryo Mataram kembali dari pembuangan, beliau lebih banyak mencurahkan diri pada aktivitas kebatinan. Beliau pun membuat suatu ajaran tentang kehidupan manusia dan berhasil menarik banyak pengikut. Keinginannya untuk menjadi seorang ahli kebatinan dengan alirannya sendiri pun disampaikan kepada sang ayah, Sultan Hamengku Buwono VII. Dan, sejak saat itu, beliau bergelar Ki Ageng Suryo Mataram.

Meski gelar bangsawannya dicabut, Ki Ageng Suryo Mataram hanya memiliki satu permintaan, yakni agar diperkenankan tetap tinggal di tempat yang dihuninya dan tempat itu telah berstatus sebagai padepokan Suryo Metaraman. Namun, Sultan Hamengku Buwono VII tidak bisa memutuskan hal tersebut, karena berpikir tentang dampaknya pada kerabat keraton yang lain.

Demikianlah sekilas mengenai kehidupan beberapa putra Sultan Hamengku Buwono VII yang secara langsung atau tidak langsung telah turut memberikan andil bagi kemajuan Kesultanan Yogyakarta dimasa pemerintahannya. Sultan Hamengku Buwono VII sendiri mulai mengurangi kegiatannya di bidang politik pada pertengahan tahun 1920, yang berpuncak pada diangkatnya Pangeran Adipati Puruboyo oleh Belanda sebagai Sultan Hamengku Buwono VIII menggantikan ayahnya pada awal tahun 1921.

Itulah sebabnya, Sultan Hamengku Buwono VII adalah satu-satunya raja yang digantikan kedudukannya sewaktu masih hidup. Bahkan setelah turun tahta, Sultan HB VII pernah mengatakan, “Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya,” yang artinya masih dipertanyakan.

Sultan Hamengku Buwono VII sempat melihat putra mahkotanya duduk di singgasana Keraton Yogyakarta selama beberapa bulan lamanya. Ketika itu, usianya adalah 81 tahun. Sebenarnya, jabatan putra mahkota itu bukanlah milik Pangeran Adipati Puruboyo, melainkan milik kakaknya yang bernama Gusti Raden Mas Akhaddiyat yang bergelar KGP Adipati Anom Hamengkunegara I. Namun, beliau harus meninggal tanpa diketahui penyebab kematiannya. Kemudian, penggantinya adalah KGP Adipati Anom Hamengkunegara II yang bergelar KGP Adipati Juminah. Sayangnya, putra mahkota yang kedua ini diberhentikan karena alasan kesehatan. Setelah keduanya, jabatan putra mahkota jatuh kepada putra ketiga Sultan HB VII yang bernama Gusti Raden Mas Putro dan bergelar KGP Adipati Anom Hamengkunegara III. Putra mahkota ketiga ini juga meninggal dunia tujuh tahun sebelum tahta diwariskan, yakni tanggal 21 Februari 1913. Dengan demikian, jabatan putra mahkota akhirnya jatuh kepada putra keempat Sultan Hamengku Buwono VII, yakni Pangeran Adipati Puruboyo.

Apabila melihat kondisi Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwono VII sedang mengalamj transisi menuju modernisasi, maka ada banyak kemajuan dan prestasi yang telah dicapai oleh Sultan Hamengku Buwono VII, diantaranya adalah :

1) Kemajuan di Bidang Politik dan Hukum

Dalam bidang politik dan hukum, ada beberapa hal penting yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono VII. Hal pertama menyangkut kontrak politik dengan Belanda, yang meminta beberapa tuntutan dan kemudian dikabulkan oleh Sultan Hamengku Buwono VII dengan beberapa persyaratan. Hal kedua tentang peradilan dan hukum. Dan yang ketiga tentang masalah agraria.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengangkatan Sultan Hamengku Buwono VII sebagai putra mahkota tidak lepas dari campur tangan Belanda. Begitu pun, ketika beliau dinobatkan menjadi sultan Yogyakarta menggantikan ayahnya yang dipaksa turun oleh Belanda karena usianya sudah tua. Nah, karena Belanda turut andil dalam pengangkatan dirinya itu, maka mau tidak mau Belanda meminta Sultan Hamengku Buwono VII untuk menandatangani sejumlah perjanjian atau kontrak. Memang, hal ini terkesan memojokkan sang Sultan, tetapi itulah konsekuensi yang harus diterima olehnya.

Kontrak politik yang dibuat oleh Sultan Hamengku Buwono VII pada tanggal 7 Agustus 1877 memberi harapan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk pembaruan di bidang hukum dan keamanan. Akan tetapi, terdapat perbedaan pandangan yang besar antara Sultan Hamengku Buwono VII dan pemerintah kolonial. Bagi Sultan Hamengku Buwono VII, wewenang penegakan keamanan dan pengambilan keputusan peradilan merupakan wewenang penguasa yang memerintah. Siapa pun orangnya, asalkan yang bersangkutan melakukan tindak kejahatan melanggar peraturan yang sah, akan dihukum. Pandangan ini tentu saja berseberangan dengan pandangan pemerintah Belanda. Bagi mereka, yang dijadikan sebagai panduan atau prinsip dalam penegakan keamanan dan pengambilan keputusan peradilan adalah prinsip kekawulaan (onderdaanschap). Maksudnya, bila pelaku tindak kejahatan adalah kawula pemerintah kolonial, maka beliau harus diadili dengan hukum kolonial dan bukan dengan hukum atau undang-undang Jawa.

Penegakan dan penerapan hukuman yang dijatuhkan berdasarkan hukum kolonial tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh lembaga peradilan yang tidak menggunakan peraturan tersebut sebagai pedomannya. Dengan demikian, di wilayah kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII harus bantu residen sebagai kepala pengadilan atau menggantikannya apabila residen berhalangan hadir.

Masalah peradilan dan hukum masih terus berlanjut hingga masa Residen J.A. Ament. Ament menekan Sultan Hamengku Buwono VII agar melepaskan hak mengadili kawulanya dan mengalihkan kepada pengadilan pemerintah kolonial. Sementara itu, sultan tetap memiliki wewenang untuk mengadili kerabat dekatnya dalam bentuk peradilan keraton (pradata dan balemangu), di samping juga pengadilan yang menyangkut masalah agama seperti hak waris dan perkawinan atau perceraian. Mengenai tuntutan dari Ament ini, Sultan Hamengku Buwono VII pun menerimanya, tetapi dengan beberapa persyaratan.

Ada dua syarat yang diajukan Sultan Hamengku Buwono VII kepada Ament. Pertama, sultan tetap memiliki wewenang terhadap peradilan yang menyangkut masalah-masalah hukum agama dan adat, seperti hak waris, perkawinan, perceraian, dan juga masalah yang berkaitan dengan keluarga dekat. Kedua, Belanda harus membayar ganti rugi kepada Sultan Hamengku Buwono VII setiap tahunnya. Ganti rugi itu adalah untuk mengganti biaya yang harus dikeluarkan kerajaan untuk menghidupi para tahanan. Persyaratan yang kedua ini akhirnya disetujui oleh Belanda pada masa pengganti Ament, yakni J.R. Couperus pada tahun 1905. Adapun keputusan Gubernur Jenderal J.B. Van Heutz tentang persyaratan kedua Sultan Hamengku Buwono VII ini adalah bersedia memberikan uang ganti rugi sebesar F25.000 per tahun.

Dengan disepakatinya perjanjian tersebut, perdebatan mengenai hukum dan peradilan antara Belanda dan Yogyakarta masih berlanjut. Pemerintah kolonial masih terus mengajukan serangkaian tuntutan terhadap Sultan Hamengku Buwono VII. Kali ini, tuntutan mereka adalah tentang peradilan perdata. Belanda berniat setelah sebelumnya berhasil mengambil alih hak peradilan pidana mengambil hak atas peradilan perdata. Dengan demikian, Belanda bermaksud mengambil alih semua masalah peradilan dari wewenang raja-raja pribumi. Dan, tugas ini diberikan kepada Residen Couperus untuk merundingkannya dengan Sultan Hamengku Buwono VII.

Pada akhirnya, Sultan HB VII pun menyetujui dan menerima tuntunan pemerintah Kolonial itu dengan sejumlah syarat. Setelah kedua pihak saling menyetujui, maka dibuatlah perjanjian baru. Perjanjian itu memutuskan beberapa hal berikut ini.

Pertama, pengadilan residen (residentiegerecht) dibubarkan dan diganti dengan pengadilan pidana khusus untuk kawula sultan yang disebut landraad. Pengadilan ini harus berdiri sendiri terpisah dari campur tangan kepala pemerintahan daerah, baik residen maupun asisten residen. Dengan demikian, harus ada perangkat hukum khusus yang menanganinya, yang hakimnya diangkat oleh pemerintah, sementara jaksa dan penghulu kepala diangkat oleh sultan.

Kedua, pengadilan polisi (politiegerecht) dibentuk, yang dipimpin oleh asisten residen masing-masing di tiga kabupaten, yang vonisnya bisa dibandingkan (appel) kepada landraad.

Ketiga, pengadilan serambi tetap dipertahankan di keraton untuk mengadili tindak pelanggaran yang berkaitan dengan agama dan menjadi wewenang sultan.

Keempat, dalam pengadilan pidana Balemangu, yang berwenang mengadili kerabat sultan, residen harus diminta pendapatnya dan pertimbangannya sebelum keputusan dibuat.

Itulah empat keputusan yang dibuat dan disepakati oleh kedua belah pihak; pemerintah Belanda dan Sultan Hamengku Buwono VII. Dengan kesepakatan tersebut, maka pembagian wewenang hukum antara pemerintah kolonial dengan Kesultanan menjadi semakin jelas. Dampak positif dari kesepakatan ini adalah munculnya kelompok-kelompok penanganan hukum. Ada tiga kelompok yang muncul.

a) Kelompok sultan dan kerabat dekatnya. Kelompok pertama ini memiliki tempat yang paling istimewa, yakni mereka tidak bisa diadili oleh semua lembaga peradilan yang ada di wilayah kekuasaannya, baik dalam perkara pidana maupun perdata. Jika anggota dalam kelompok ini terlibat dalam perkara hukum yang memberatkan menurut pandangan pemerintah, keputusan tergantung pada Gubernur Jenderal di Batavia.

b) Kelompok putra-putra raja di luar putra mahkota, para istri dan keluarga mereka. Kelompok ini masih mendapatkan hak istimewa untuk diadili dalam lingkup peradilan keraton, bukan oleh pemerintah kolonial.

c) Kelompok aparat peradilan keraton sendiri. Jika anggota dari kelompok ketiga ini melakukan pelanggaran atau tindak kejahatan, mereka hanya bisa diadili atas ijin Sultan, meskipun lembaga yang akan mengadili mereka ditunjuk kemudian.

2) Kemajuan di Bidang Kebudayaan

Kemajuan yang dicapai dalam bidang kebudayaan oleh Sultan Hamengku Buwono VII adalah reformasi budaya Jawa, khususnya kesenian yang menjadi ciri khas Yogyakarta. Selain telah menampilkan kembali karya-karya estetika dalam budaya Jawa yang merupakan penyempurnaan dari model-model sebelumnya, budaya keraton pada masa Sultan Hamengku Buwono VII telah dikenal luas oleh masyarakat sehingga tidak hanya terbatas untuk kalangan keraton. Dengan demikian, pada masa pemerintahannya, telah terjadi proses popularisasi kebudayaan dalam segala bidang.

3) Kemajuan di Bidang Seni

Dalam bidang seni, keberhasilan pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII dapat dilihat dari terbentuknya sekolah tari gaya yang dimotori oleh dua putra Sultan Hamengku Buwono VII sendiri.

Sultan Hamengku Buwono VII juga memiliki beberapa putra lainnya, mereka adalah Pangeran Tejokusumo, dan Pangeran Suryodiningrat. Berbeda dengan dua pangeran sebelumnya, Puruboyo dan Mangkukusumo, dua adik mereka tidak terlalu tertarik pada politik. Pangeran Tejokusumo dan Pangeran Suryodiningrat justru menarik diri dari keraton (politik) dan menyibukkan diri dengan aktivitas seni. Ketertarikan dua putra Sultan Hamengku Buwono VII pada dunia seni telah mengantarkan kebudayaan Keraton Yogyakarta mencapai masa kejayaannya.

Kejayaan kebudayaan Yogyakarta itu diawali dengan didirikannya sekolah tari gaya Yogyakarta oleh Pangeran Tejokusumo dan Pangeran Suryodiningrat. Sekolah tari yang pertama kali dibuka untuk umum bernama Krido Bekso Wiromo. Melalui sekolah ini, kedua pangeran tersebut berhasil memperkenalkan kebudayaan keraton yang semula hanya terbatas di lingkup istana menjadi meluas dan hidup di kalangan masyarakat. Selain itu, pentas tari dan wayang orang menjadi semakin marak sejak akhir tahun 1918, dan mendapatkan dukungan penuh dari Sultan Hamengku Buwono VII.

Keberhasilan Pangeran Tejokusumo dalam membuka sekolah tari Krido Bekso Wiromo di luar keraton dan kepopuleran gaya tari Yogyakarta di kalangan masyarakat luas, menjadikannya sangat dikenal sebagai salah seorang budayawan Jawa. Keberhasilan itu pula yang membuatnya semakin jauh dari kehidupan politik Kesultanan Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga banyak mempelopori karya di bidang seni. Tari Bedaya Sumreg , Srimpi Dhendhang Sumbawa, dan Bedaya Lala adalah contoh karya beliau. Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII pula, Tari Bedaya yang semula menggunakan kampuh beralih menjadi menggunakan mekak, namun riasannya tetap menggunakan paes ageng. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII ini pula, terdapat abdi dalem empu pembuat keris yang menghasilkan keris-keris bagus yang dikenal dengan keris tangguh kaping piton

4) Kemajuan di Bidang Organisasi

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mempunyai visi jauh ke depan, dengan memberi ruang kepada aktivis-aktivis organisasi politik cikal bakal negara Indonesia. Bangunan Loji Mataram miliknya, terletak di Jl. Malioboro (kini gedung DPRD DIY), dipinjamkan kepada organisasi Budi Utomo untuk menyelenggarakan kongres pertama. Sultan Hamengku Buwono VII menunjukkan sikap simpatinya kepada Budi Utomo pada tahun 1909, yaitu ketika beliau mengizinkan penyelenggaraan kongres pertama Budi Utomo. Beberapa orang bangsawan Jawa pun menjadi anggota dari organisasi ini, salah satunya adalah Pangeran Notodirojo. Melalui para bangsawan ini, Budi Utomo mampu memperkenalkan programnya kepada Sultan Hamengku Buwono VII.

Muhammadiyah, salah satu organisasi besar saat ini, juga lahir dari lingkungan keraton pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII . Dasar dari organisasi yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 ini adalah melaksanakan ajaran agama Islam secara murni dengan tujuan mengentaskan umat Islam dari kebodohan dan keterbelakangan. Raden Ngabei Ngabdul Darwis atau Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah abdi dalem keraton golongan pengulon yang disekolahkan ke Arab Saudi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Organisasi yang menitik beratkan pada amal usaha dan pendidikan ini segera berkembang pesat keluar wilayah Kauman, tempat organisasi ini bermula

Sikap terbuka Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga turut dirasakan oleh umat Islam pada masanya. Beliau mempersilahkan perayaan hari-hari besar keagamaan sesuai dengan kalender Hijriah, namun untuk upacara Garebeg tetap berdasarkan kalender Sultan Agungan

5) Kemajuan di Bidang Pendidikan

Di samping beberapa bidang tadi, pada masa Sultan Hamengku Buwono VII juga terjadi kemajuan signifikan di bidang pendidikan. Kemajuan ini dibuktikan dengan berdirinya banyak sekolah di Kesultanan Yogyakarta, baik sekolah swasta maupun sekolah pemerintah kolonial. Setiap tahunnya, ada peningkatan jumlah dari sekolah-sekolah tersebut. Pada tahun 1890, Sultan Hamengku Buwono VII mendirikan sebuah sekolah yang bertempat di bangsal Srimanganti, salah satu pendopo dalam lingkungan keraton. Sekolah ini diperuntukkan bagi setiap putra pejabat keraton. Jika para putra pejabat keraton itu hendak menggantikan ayahnya, maka mereka harus memiliki sertifikat dari sekolah itu.

Dengan didirikannya sekolah di keraton, Sultan Hamengku Buwono VII membuktikan bahwa dirinya Sangat peduli pada pendidikan. Tampaknya, sultan percaya bahwa pendidikan adalah jalan bagi masa depan yang lebih cerah. Sekolah yang didirikan Sultan Hamengku Buwono VII itu kemudian disebut Eerste Klasse School met de Basa Kedaton, telah memiliki murid sekitar 100 orang. Dan, dalam perkembangannya, sekolah ini tidak lagi hanya untuk putra dan putri para bangsawan, melainkan juga berasal dari putra abdi dalem.

Antara tahun 1889-1893, banyak didirikan sekolah-sekolah partikelir di luar keraton, seperti di Kalasan, Kejambon, Jejeran, Wonogiri, Bantul, Kreteg, Sleman, Klegung, dan Godean. Pemerintah kolonial membantu dengan kayu bangunan dan kapur sebagai bahan bangunan, sedangkan Kesultanan memberi bantuan berupa uang. Hingga tahun 1907, jumlah sekolah di wilayah Kesultanan Yogyakarta terus meningkat, yakni tercatat ada 75 sekolah. Dari 75 sekolah itu, di ibukota Kesultanan sebanyak 51 buah, di Gunung Kidul 12 buah, dan di Kulon Progo 12 sekolah.

Untuk mengurusi atau sebagai penanggung jawab atas sekolah-sekolah tersebut, maka Sultan Hamengku Buwono VII mengangkat dua orang kerabatnya sebagai inspektur sekolah. Mereka adalah R. Bekel Soeriodipoero (putra RA Mangkubumi) dan Raden Riyo Poerboningrat (putra Pangeran Puruboyo) untuk Kabupaten Sleman, Kalasan, dan Kulon Progo.

4.  Referensi

  1. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  3. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
  4. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  5. Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata
  6. https://www.kratonjogja.id/
  7. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  8. Fredy Heryanto. 2007. Mengenal Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat