Sejarah Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat

 
Sejarah Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat

Daftar Isi Sejarah Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat

1.  Asal Usul Nama Yogyakarta
2.  Latar Belakang Berdirinya Kesultanan Yogyakarta
3.  Raja-Raja yang Memerintah Kesultanan Yogyakarta
4.  Awal Pembangunan Kesultanan Yogyakarta
5.  Referensi

 

1. Asal Usul Nama Yogyakarta

Mengenai asal usul dari nama Yogyakarta. Tentu saja, kata “Yogyakarta” tidak lantas muncul dengan sendirinya tanpa memiliki sejarah. Sebab, bagaimanapun, sebuah nama terutama nama tempat pasti memiliki asal usul.

Nama Yogyakarta yang digunakan untuk menyebut Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki sejarahnya sendiri. Konon, nama Yogyakarta sudah ada jauh sebelum Sultan Hamengku Buwono I mendirikan kerajaan ini. Nama Yogyakarta, yang kemudian diadopsi menjadi nama kerajaan oleh Sultan Hamengku Buwono I itu cikal bakalnya dapat dilacak kepada sultan kedua Kesunanan Kartasura, yakni Pangeran Puger alias Pakubuwono I. Dengan demikian, nama Yogyakarta sudah ada sejak paman buyut Sultan Hamengku Buwono I.

Menurut Sukendra Martha, kata Yogyakarta merupakan pergeseran lafal dari kata bahasa Jawa “Ngayogyokarto”. Kata yang kedua ini (Ngayogyokarto) dibentuk oleh dua suku kata, yakni kata “ngayogya” (“ayogya” atau “ayodya”) dan kata “karta’.

Pertama, kata ayodya memiliki arti “kedamaian”, “pantas”, “baik”. Dengan makna ini, maka kata ayodya atau ngayogya diartikan “memiliki cita-cita yang baik”. Kata ayodya sendiri juga merujuk pada sebuah kota bersejarah di India tempat asal Wiracarita Ramayana. Ternyata, sebagaimana diketahui, tapak Keraton Yogyakarta telah berupa dalem yang bernama Dalem Garjitawati, yang kemudian dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwono II sebagai Dalem Ayogya. Tampaknya, inilah yang menjadi cikal bakal nama pertama (Yogya) dari digunakannya nama Yogyakarta.

Kedua, kata karta memiliki arti “aman”, “sejahtera’. Dengan demikian, kata ngayogyakarta berarti mencapai kesejahteraan bagi negeri dan rakyatnya. Karena ini pulalah, maka semboyan dari kota Yogyakarta sekarang adalah “Yogya Berhati Nyaman”.

Nama Yogyakarta itu kemudian dijadikan sebagai nama resmi bagi salah satu pecahan Kerajaan Mataram Islam; Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bahkan, sampai saat ini, nama Yogyakarta itu tetap digunakan untuk menyebut bekas wilayah Kerajaan Mataram tersebut. Seperti kita ketahui, kata Yogyakarta sekarang digunakan untuk menyebut nama dari dua wilayah di Indonesia, yakni Kota Yogyakarta (dalam lingkup kecil) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (secara luas). Kota Yogyakarta adalah ibu kota dari Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan salah satu kota besar di pulau Jawa dan menjadi tempat kedudukan bagi Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualam. :

Menurut sejarahnya, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, Kerajaan Mataram Islam berlokasi di salah satu kecamatan di kota Yogyakarta, yakni kecamatan Kotagede. Setelah Mataram resmi pecah pada tahun 1755, penerus dari pecahan kerajaan ini masih bertempat di kota Yogyakarta, Hingga kini, penerus Kerajaan Mataram masih tetap eksis dj Yogyakarta, yang pusat pemerintahannya berada di Keraton Ngayogyakarta dan Puro Pakualaman.

2. Latar Belakang Berdirinya Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat

Sultan Hamengku Buwono I memiliki seorang kakak yang menjadi pewaris tahta kerajaan ayahnya, yakni yang bergelar Pakubuwono II, raja terakhir Kesunanan Kartasura dan raja pertama Kesunanan Surakarta. Namun, Sultan Hamengku Buwono I berseberangan politik dengan sang kakak. Salah satu penyebab perselisihan di antara kakak beradik itu tidak lain adalah tahta kerajaan. Perselisihan itu dimulai dari sebuah peristiwa yang bernama Geger Pecinan, yaitu pemberontakan orang-orang Tiongkok di Batavia. Awalnya, Pakubuwono II bersama dengan keponakannya, Raden Mas Said, menjadi pendukung pemberontak. Namun, keduanya akhirnya berpisah ketika Pakubuwono II berbalik mendukung VOC dan melawan pemberontak. Sejak itu, Raden Mas Said berseberangan secara politik dengan Pakubuwono II.

Pada suatu ketika, Raden Mas Said berhasil merebut Sukowati dari wilayah kekuasaan Kartasura dan juga berhasi} menghancurkan istana Kartasura. Karena itu, Pakubuwono II akhirnya membangun istana baru di Surakarta. Ketika beliau sudah menjadi raja di Kartasura, membuat sayembara barang siapa berhasil merebut tanah Sukowati yang waktu itu diduduki oleh para pemberontak pimpinan Raden Mas Said, akan diberj hadiah berupa tanah seluas 3.000 cacah (Tanah yang dapat dikerjakan atau ditempati oleh 3.000 keluarga). Akhirnya, Sultan Hamengku Buwono I yang waktu itu masih bernama Mangkubumi berhasil merebut Sukowati dari tangan Raden Mas Said sekaligus mengusirnya pada tahun 1746, Dengan demikian, Mangkubumi-lah yang berhak atas tanah seluas 3.000 cacah yang dijanjikan itu.

Akan tetapi, Pakubuwono II ternyata melanggar janjinya. Beliau tidak memberikan tanah seluas 3.000 cacah itu kepada adiknya, Mangkubumi, sebagai hadiah sayembara, adapun yang menjadi penyebab Pakubuwono II melanggar janjinya adalah karena hasutan dari Patih Pringgalaya yang menyuruhnya untuk membatalkan perjanjian sayembara. Ibarat pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Mangkubumi yang mendengar berita itu kemudian marah.

Puncak dari kemarahan dan sakit hati Mangkubumi terjadi ketika Surakarta kedatangan Gubernur Jenderal VOC bernama Baron van Imhoff. Sang gubernur VOC tersebut mendesak Pakubuwono II untuk menyewakan daerab pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real. Hal ini harus diterima oleh Surakarta untuk melunasi utang keraton kepada VOC. Namun, Mangkubumi menentang desakan gubernur VOC tersebut. Karena itu, terjadilah pertengkaran antara Baron van Imhoff dan Mangkubumi. Dalam pertengkaran itu, Baron menghina Mangkubumi di depan umum. Dan, sejak saat itu, Mangkubumi pergi dari Istana Surakarta dan bergabung dengan keponakannya, Raden Mas Said sebagai pemberontak. Mangkubumi kemudian menikahkan putrinya yang bernama Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro dengan Raden Mas Said sebagai tanda ikatan dari bergabungnya dirinya ke dalam kelompok pemberontak. Dari sini, Pakubuwono II dan Sultan Hamengku Buwono I berseteru dan saling berebut kekuasaan.

Selanjutnya, Sultan Hamengku Buwono I bersama dengan Raden Mas Said melakukan pemberontakan melawan Pakubuwono II yang didukung VOC. Pemberontakan ini lebih kepada Perang Saudara, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Suksesi Jawa III. Dalam perang tersebut, kekuatan Mangkubumi diperkirakan mencapai 13.000. Perang tersebut berlangsung dengan alot, dan Mangkubumi berhasil memenangkan setiap pertempuran. Karena sudah terdesak, seperti diceritakan sebelumnya, pihak VOC kemudian membuat langkah perdamaian dengan memberikan sebagian wilayah Surakarta kepada Mangkubumi. Karena itu, Mangkubumi lalu mendirikan Kesultanan Yogyakarta. Pada waktu pembagian wilayah ini, Surakarta sudah diperintah oleh putra mahkota, yakni Pakubuwono III. Sejak saat itu, Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono I dan berkedudukan di Kesultanan Yogyakarta

Kesultanan Yogyakarta secara resmi berdiri pasca ditandatanganinya perjanjian Giyanti antara VOC, Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I), dan Pakubuwono III. Berdirinya kerajaan ini sekaligus mengakhiri Perang Suksesi Jawa III di antara para trah (keturunan) Mataram Islam, yang saling berebut tahta Kerajaan Mataram dan masing-masing mengklaim sebagai pewaris yang sah. Karena lahir dari sebuah kesepakatan atau perjanjian, maka kedaulatan dan kekuasaan pemerintahannya diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang telah ditandatangani. Adapun pihak yang berkuasa atas kontrak politik tersebut dan sekaligus pembuat segala aturan yang berlaku adalah VOC (sebagai negara induk waktu itu).

Perlu diketahui, meskipun Kesultanan Yogyakarta menjadi kerajaan tersendiri dan bebas dari Surakarta, namun tetap saja ia masih berada di bawah kekuasaan dan pengawasan VOC. Hal ini ditandai dengan perjanjian Giyanti, yang menuntut para sultan tidak boleh mengangkat putra mahkota dan patih tanpa persetujuan (atau disetujui) oleh VOC. Kontrak politik terakhir antara VOC dengan Kesultanan bekas pecahan Mataram adalah pada tahun 1940. Sebab, lima tahun kemudian, Kesultanan Yogyakarta secara resmi bersatu dengan Negara Republik Kesatuan Indonesia. Kemudian, setelah bergabung dengan NKRI pada tahun 1950, Kesultanan Yogyakarta (bersama Kadipaten Pakualaman) secara resmi dibubarkan dan diturunkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta (setingkat provinsi).

3. Raja-Raja yang Memerintah Kesultanan Yogyakarta

Sampai saat ini, ada sepuluh orang sultan yang berkuasa di Kesultanan Yogyakarta secara bergantian dan hierarki. Sepuluh sultan itu adalah sebagai berikut:

1. Sri Sultan Hamengku Buwono l (13 Februari 1755-24 Maret 1792)

Sultan Hamengku Buwono I tidak hanya bijaksana dan ahli dalam strategi perang, beliau juga adalah seorang pengagum keindahan. Peninggalan-peninggalan berupa arsitektur di masanya menjadi buktinya. Salah satu buah karya arsitektur monumental yang menjadi warisan atau peninggalan Sultan Hamengku Buwono I yang hingga kini masih bisa kita nikmati, adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta. Peninggalan ini kini menjadi salah satu objek wisata mengagumkan di Keraton Yogyakarta yang banyak dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.

2. Sri Sultan Hamengku Buwono lI (2 April 1792-akhir 1810, akhir 1811-20 Juni 1812, dan 17 Agustus 1826-2 Januari 1828)

Setelah memegang tampuk pemerintahan tahun 1792, Sultan Hamengku Buwono II terus menunjukkan tekadnya untuk menjunjung tinggi kebesaran tradisi dan kewibawaan Kesultanan Yogyakarta. Sikap itu kemudian menciptakan benturan dengan tuntutan dan kepentingan para penguasa kolonial yang ingin memaksakan kehendaknya kepada rajaraja Jawa. Atas dasar itu, Sultan Hamengku Buwono II selalu melawan tekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Karena itu, pihak VOC pun melakukan banyak cara untuk melengserkannya dari tahta Yogyakarta.

Sebagai konsekuensi dari sikap kerasnya terhadap VOC, selama hidupnya, Sultan Hamengku Buwono II mengalami dua kali penurunan tahta, yakni pada tahun 1811 oleh Dandles dan pada tahun 1812 oleh Raffles. Selain itu, beliau juga mengalami hukuman buang sebanyak tiga kali, yakni dibuang ke Penang pada 1812, di buang ke Ambon pada 1817, dan dibuang ke Surabaya pada 1825. Namun, pemerintah kolonial akhirnya mengakui kewibawaan Sultan Hamengku Buwono II yang terdesak sebagai akibat dari pecahnya Perang Diponegoro. Sang sultan pun dibebaskan dari pembuangannya dan dilantik kembali menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta. Tetap saja, Sultan Hamengku Buwono II tidak mau berkompromi dengan Belanda. Terlebih, waktu itu, VOC tengah kewalahan menghadapi Pangeran Diponegoro. Sampai akhir hayatnya, Sultan Hamengku Buwono II tidak pernah mau bekerja sama dengan Belanda, apalagi untuk menangkap Pangeran Diponegoro atau menghentikan perlawanannya.

3. Sri Sultan Hamengku Buwono lII (Akhir 1810-Akhir 1811 dan 29 Juni 1812-3 November 1814)

Kesultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III praktis tidak mengalami perubahan. Sebab, meskipun Sultan Hamengku Buwono III memerintah sebanyak dua kali, namun masa pemerintahannya berlangsung sangat singkat. Periode pertama hanya berlangsung selama setahun dan periode kedua dua tahun. Nah, totalnya, Sultan Hamengku Buwono III memerintah hanya selama tiga tahun (dalam dua periode). Dalam waktu yang singkat itu, Sultan Hamengku Buwono III tidak berbuat banyak untuk Kesultanan Yogyakarta. Karena, waktu itu, Kesultanan dihadapkan pada kondisi perseteruan antara Belanda dan Inggris.

4. Sri Sultan Hamengku Buwono lV (9 November 1814-6 Desember 1823)

Sultan Hamengku Buwono IV memimpin kerajaan selama sembilan tahun. Namun, dalam waktu yang cukup lama itu, hampir tidak ada perkembangan signifikan yang terjadi pada Kesultanan Yogyakarta. Hal itu dikarenakan sewaktu memimpin Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IV tidak berkuasa secara penuh dan mutlak, melainkan hanya menjadi “simbol”. Pada masanya, justru yang memiliki kuasa luas dan kuat adalah Patih Danureja IV yang merupakan antek setia Belanda.
 

5. Sri Sultan Hamengkubuwono V (9 Desember 1823-17 Agustus dan 17 Januari 1828-5 Juni 1855)

Ketika memerintah Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono V terbilang cukup dekat dengan pemerintah Hindia Belanda. Kedekatannya itu terlihat dari pengangkatannya sebagai sultan menggantikan Sultan Hamengku Buwono IV pada periode pertama dan menggantikan Sultan Hamengku Buwono II pada periode kedua. Meskipun memiliki hubungan dekat dengan Belanda, Sultan Hamengku Buwono V tetap memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Kedekatannya dengan Belanda merupakan sebuah bentuk taktik perang represif, yang menekankan pada perang tanpa darah. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwono V juga mengharapkan kedekatannya dengan pemerintahan Belanda agar terjalin kerja sama mutualisme antara pihak keraton dan Belanda. Dengan adanya kerja sama saling menguntungkan itu, maka kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara. Itulah strategi politik yang diterapkan Sultan Hamengkubuwono V ketika memerintah Yogyakarta.
 

6. Sri Sultan Hamengku Buwono VI (5 Juli 1855-20 Juli 1877)

Sultan Hamengku Buwono VI naik tahta, Kesultanan Yogyakarta dilanda sebuah musibah yang cukup besar yang menghancurkan beberapa bangunan penting. Musibah itu adalah gempa bumi yang sangat dahsyat. Adapun bangunan-bangunan yang hancur (baik sebagian maupun seluruhnya) akibat gempa bumi itu, di antaranya sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gedhe, Loji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta), dan beberapa bangunan lainnya.

Selain diguncang gempa bumi, selama 22 tahun, pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V1 juga dihadapkan pada berbagai pemberontakan yang muncul. Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari orang-orang yang tidak mengakui posisi Sultan Hamengku Buwono VI sebagai raja. Namun, semua pemberontakan itu berhasil dipadamkan. Adalah sang Patih Danureja V yang berjasa besar dalam mengatasi pemberontakan tersebut.

7. Sri Sultan Hamengku Buwono Vil (22 Desember 1877-29 Januari 1921)

Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengku Buwono VII sedang mengalami transisi menuju modernisasi, maka ada banyak kemajuan dan prestasi yang telah dicapai oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Kemajuan dan prestasi itu tidak hanya dalam lingkup politik, tetapi lebih luas dari itu, yakni dalam bidang seni, kebudayaan, maupun organisasi. Berikut ini berbagai kemajuan yang terjadi di masa Sultan Hamengku Buwono VII, diantaranya adalah :

  1. Kemajuan di bidang politik dan hukum
  2. Kemajuan di bidang kebudayaan
  3. Kemajuan di bidang seni
  4. Kemajuan di bidang organisasi
  5. Kemajuan di bidang pendidikan

8. Sri Sultan Hamengku Bbuwono VIIl (8 Februari 1921– 22 Oktober 1939)

Pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono ke VIII selain melanjutkan kejayaan yang telah dicapai oleh ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VII, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan, Sultan Hamengku Buwono VIII banyak melakukan rehabilitasi bangunan. Ada beberapa bangunan Keraton Yogyakarta yang telah direhabilitasi olehnya, di antaranya Bangsal Pagelaran, Tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.

Selain melakukan rehabilitasi bangunan tersebut, pencapaian lain Sultan Hamengkubuwono VIII adalah di bidang keorganisasian. Hal ini ditandai dengan kiprahnya dalam mendukung perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam membidani lahirnya Muhammadiyah. Dengan dukungan ini, Sultan Hamengku Buwono VIII menjadi orang pertama dari kalangan politikus papan atas Kesultanan Yogyakarta yang berperan dalam perkembangan organisasi Islam Muhammadiyah.
 

9. Sri Sultan Hamengkubuwono lX (18 Maret 1940-2 Oktober 1988)

Masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono IX merupakan masa transisi, Masa transisi ini terjadi dua kali, yakni transisi Indonesia dari era kolonial ke era kemerdekaan dan transisi Kesultanan Yogyakarta ke Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan mengalami dua transisi ini, maka posisi Sultan Hamengku Buwono IX juga mengalami transisi, yakni dari sultan ke gubernur. Selain itu, Sultan Hamengku Buwono IX juga menempati beberapa jabatan penting dan strategis, baik di pemerintahan daerah (Yogyakarta) maupun di pemerintahan pusat (Indonesia).

Sebelum menggabungkan diri ke dalam NKRI, Kesultanan Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX mengalami banyak sekali perubahan. Tampaknya, sifat-sifat sang kakek, Sultan Hamengku Buwono VII, yang anti-Belanda menurun kepada Sultan Hamengku Buwono IX, yang ditunjukkan dengan sikapnya yang sangat anti terhadap Belanda. beliau sangat berani dan dengan tegas menentang kaum penjajah. beliau bersemangat memperjuangkan nasib rakyat Yogyakarta agar segera meraih otonomi sendiri.
 

10. Sri Sultan Hamengku Buwono X (7 Maret 1989-Sekarang)

Sebagai seorang sultan dan sekaligus gubernur, Sultan Hamengku Buwono X memimpin dengan adil dan netral. Ia tidak memihak pada salah satu pihak terkait dengan berbagai kepentingan partai politik dan pemerintah. Satu hal yang jelas dari sikap dan jiwa kepemimpinannya, yakni menghormati demokrasi dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Karena itulah, ia mampu menjaga keistimewaan Yogyakarta sebagai kota pelajar dan pusat pendidikan.

Seperti kita tahu, DIY telah menjadi kota pelajar dan pusat pendidikan sejak masa kakek buyutnya, Sultan Hamengku Buwono VII, yang waktu itu banyak didirikan sekolah-sekolah. Kemudian, di masa ayahnya, Sultan Hamengku Buwono IX, berbagai pusat pendidikan kembali dibangun, salah satunya adalah UGM. Dan, pada masa Sultan Hamengkubuwono X, Yogyakarta menjadi salah satu kota tujuan pendidikan. Dengan kata lain, di masa Sultan Hamengkubuwono X, Yogyakarta telah berhasil menjelma menjadi sebuah kota tempat para pelajar dari berbagai pelosok negeri untuk belajar. Hal itu tidak lepas dari banyaknya lembaga pendidikan dengan beragam cabang ilmu di dalamnya yang berdiri di kota ini. Sehingga, bisa dibilang, hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan di kota ini.

Untuk penjelasan lebih lengkapnya akan di ulas pada artikel Profil Tokoh di Laduni.Id

4. Awal Pembangunan Kesultanan Yogyakarta

Di bawah kekuasaan Sultan Hamengku Buwono I, Kesultanan Yogyakarta tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kerajaan yang besar dan kuat di masanya. Bahkan, kebesaran dan kekuatan Kesultanan Yogyakarta mengalahkan Kesunanan Surakarta dan VOC di seluruh tanah Jawa. Inilah kemudian yang membuat Sultan Hamengku Buwono I kembali berambisi untuk menyatukan kembali wilayah kerajaan leluhurnya, Mataram Islam. Namun, sebelum memulai rencana penyatuan tersebut, terlebih dahulu Sultan Hamengku Buwono I membangun istana Keraton Yogyakarta.

Ketika mendapatkan wilayah kekuasaannya melalui perjanjian Giyanti, langkah pertama yang diambil oleh Sultan Hamengku Buwono I sebagai raja pertama Yogyakarta adalah membangun keraton. Dengan titahnya, beliau segera memerintahkan membuka hutan Beringan. Di hutan tersebut, ada sebuah dusun yang menjadi cikal bakal dari Kesultanan Yogyakarta, yakni dusun Pacethokan. Dusun inilah yang dipilih oleh Sultan Hamengku Buwono I untuk mendirikan (membangun) Keraton Yogyakarta.

Dusun Pacethokan terletak di antara dua sungai, yaitu Sungai Code (Kali Code) di sebelah timur dan Sungai Winongo (barat). Pembangunan keraton dipimpin langsung oleh Sultan Hamengku Buwono I yang dimulai pada tanggal 9 Oktober 1755. Keraton Yogyakarta sudah berdiri hanya dalam waktu sekitar satu tahun, dan Sultan Hamengku Buwono I menempati istana tersebut pada tangga 13 Sura tahun Jumadil Akhir 1682 J atau 7 Oktober 1756 M. Bangunan pertama yang digunakan adalah gedung Sedahan. Pembangunan bagian-bagian keraton yang lainnya dilakukan secara bertahap. Hal ini disebabkan oleh situasi keamanan yang belum stabil.

Bersamaan dengan pembangunan bangunan-bangunan keraton lainnya, Sultan Hamengku Buwono I juga memerintahkan untuk membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kelengkapan keraton. Ada beberapa sarana kelengkapan yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwono I, seperti pembuatan benteng keliling, kompleks taman sari yang merupakan tempat rekreasi sultan beserta keluarganya, Masjid Gedhe, dan Pasar Gedhe.

Keraton Yogyakarta dibangun dengan dikelilingi oleh benteng-benteng yang tinggi menjulang. Hal ini menandakan bahwa keraton juga menjadi tempat pertahanan bagi Kesultanan Yogyakarta. Benteng sekeliling Keraton Yogyakarta ini memiliki lima gerbang atau plengkung, yakni:

  1. Tarunasura di Timur Laut
  2. Madyasura di Timur
  3. Nirbaya di Selatan
  4. Jagabaya di Barat
  5. Jagasura di Barat Laut

Sementara itu, kompleks keraton sendiri terbagi menjadi tiga halaman yang membujur dari arah utara ke selatan. Di dalam tiga halaman tersebut, masih ada halaman-halaman kecil beserta beberapa buah bangunan. Berikut adalah tiga halaman besar Keraton Yogyakarta.

  1. Pertama, halaman pertama Keraton Yogyakarta terdiri dari Alun-alun Utara, Pagelaran, Siti Hinggil Utara, Kemandungan, dan Sri Manganti.
  2. Kedua, halaman kedua Keraton Yogyakarta terdiri atas Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencana, Gedong Purworetno, Gedong Jene, Trajutrisno, Bangsal Manis, Kasatriyan, Keputren, Kedaton Kilen, dan Kedaton Wetan.
  3. Ketiga, halaman ketiga Keraton Yogyakarta terdiri atas Magangan, Kemandhungan Selatan, Siti Hinggil, dan Alun-alun Selatan

Dari segi luas bangunan, Keraton Yogyakarta memiliki luas bangunan sekitar 18.584 m2. Bangunan Keraton Yogyakarta itu berdiri(terletak) diatas lahan seluas 1.800.000 m2.

Sultan Hamengku Buwono I menamai keraton yang dibangunnya itu dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibu kota Ngayogyakarta (Yogyakarta). Konon, nama Ngayogyakarta dipilih sebagai bentuk penghormatan terhadap Hutan Beringan, yang merupakan tempat bersejarah pada masa Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di sinilah, istana pesanggrahan yang terkenal dengan nama Garjitawati berada. Kemudian, pada masa Pakubuwono ll di Kartasura, nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu, tempat tersebut dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri.

5. Referensi

  1. Abimanyu, Soetjipto. 2013. Babat Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Yogyakarta: Laksana.
  2. Al-Anshori, M. Junaedi. 2007. Sejarah Nasional Indonesia : Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: Mitra Aksara Panaitan.
  3. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  4. Sabdacarakatama, Ki. 2008. Sejarah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
  5. Abimanyu, Soetjipto. 2015. Kisah Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.