Info Harian Laduni: 20 November 2023

 
Info Harian Laduni: 20 November 2023

Laduni.ID, Jakarta - Bertepatan dengan tanggal 20 November ini menjadi momentum bagi kita semua untuk mengenang kepergian KH. Ahmad Dahlan Achyad, KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, dan KH. Masruri Abdul Mughni.

Kyai Dahlan Ahyad berpulang pada 20 November 1962 di usia 77 tahun. 

KH. Ahmad Dahlan Ahyad lahir pada tanggal 30 Oktober 1885 M bertepatan dengan 13 Muharram 1303 H di Kebondalem Surabaya. Beliau adalah putra keempat dari enam bersaudara dari pasangan KH. Muhammad Ahyad dan Nyai Hj. Mardliyah.

KH. Ahmad Dahlan Ahyad bermula dari ayahanda beliau sendiri yakni Kyai Achyad, pemangku Pesantren Kebondalem. Melalui restu orangtua beliau nyantri ke Syaikhona Kholil Bangkalan.  

Setelah lama beliau mengembara mencari ilmu dari pesantren ke pesantren, Kyai Dahlan kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan estafet pesantren milik ayahanda beliau. 

Pada tahun 1926 M berdirilah organisasi secara resmi untuk benar-benar menghalau Wahabi, yakni Nahdlatul Ulama’. Organisasi akbar ini dipimpin oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Rais Akbar) sedangkan Kyai Dahlan sebagai wakil ketua dan KH. Wahab Chasbullah sebagai sekretaris (Katib Awal). Kedudukan Kyai Dahlan sebagai orang nomor dua di NU kala itu cukup berpengaruh.

KH. Ahmad Rifa'i lahir pada hari Kamis tanggal 9 Muharram 1200 H, bertepatan tahun 1786 Masehi. Mengenai tanggal lahirnya, ada juga berpendapat dalam kitab Risalah Syamsul Hilal Juz Ats-Tsani pada Bab Perimbangan Awal Tahun Hijriyah dan Miladiyah menyebutkan bahwa tanggal 1 Muharram 1200 H bertepatan dengan 4 November 1785 dan ada juga yang mengatakan beliau lahir 9 Muharram 1200 H setidaknya bertepatan pada 12 November 1785.

Beliau kemudian diasuh dan dididik oleh pamannya yang bernama  KH. Asy’ari, seorang ulama terkemuka di daerah Kaliwungu. Diasuh oleh  KH. Asy’ari menjadikan Ahmad Rifa’i tumbuh dewasa kental dengan ilmu agama Islam. Sejak kecil ia sudah memiliki kecerdasan yang luar biasa. Tak heran jika kelak ia menjadi ulama besar.

Pada saat Kiai Ahmad Rifa’i menimba ilmu di tanah haram, beliau bertemu dengan beberapa ulama Nusantara, seperti Syekh KH. Nawawi Banten dan Syekh KH. Kholil Bangkalan. Ketiga ulama tersebut menjadi sahabat karib dan sempat melakukan diskusi terkait dakwahnya kelak.

Dari hasil diskusi tersebut ketiganya bersepakat, Syekh KH.  Kholil Bangkalan akan fokus pada masalah tasawuf dalam dakwahnya, Syekh KH. Nawawi Banten pada masalah usuluddin, sementara Kiai Ahmad Rifa’i pada masalah fiqih.

Sesampai di tanah air Kiai Ahmad Rifa’i memulai dakwahnya di sebuah desa terpencil yakni Kalisalak, sekarang masuk di Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang. Pada masa itu Nusantara sedang terpuruk karena penjajahan dan kebodohan. Ia sangat prihatin melihat kondisi masyarakat. Karena saat kehidupan sosial rakyat sangat tertindas oleh penjajah, para birokrat pribumi banyak yang bersekutu dengan penjajah. 

Materi dakwahnya tidak selalu tentang hukum Islam, tapi juga protes sosial karena ia melihat pemerintah kolonial yang selalu menindas masyarakat. Protes sosial ia masukkan dalam ajaran dan kitab yang ditulisnya. Ia meyakini pemerintah kolonial adalah kafir dan harus diperangi.

Keyakinan tersebut diajarkan kepada santri-santrinya agar tidak tunduk terhadap penjajah dan birokrat pribumi yang bersekutu dengannya. Tidak hanya itu, Kiai Ahmad Rifa’i juga mengajarkan kepada santrinya bahwa melawan pemerintah kolonial merupakan Perang Sabil.

Sebelum diasingkan ke Ambon, beliau sempat tinggal di penjara Pekalongan selamat 13 hari. Dalam masa pengasingan, beliau sangat produktif menulis dan menjalin komunikasi rahasia dengan santri-santri yang ada di Kalisalak melalui saudagar Semarang yang berlayar ke Ambon. Saat hal itu diketahui oleh Belanda, ia kembali diasingkan ke Kampung Jawa Tondano, Sulawesi Utara hingga akhir hayatnya.

Pada Ahad pagi 20 November 2011 pukul 00.15 WSA (Waktu Arab Saudi) atau pukul 04.15 WIB, KH. Masruri Abdul Mughni dipanggil ke haribaan Allah SWT dalam usia 68 tahun. 

KH. Masruri Abdul Mughni atau yang kerap dipanggil dengan Abah Yai lahir di Desa Benda pada 23 Juli 1943. Beliau adalah putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan KH. Abdul Mughni dan Hj. Maryam. Abah Yai juga merupakan cucu KH. Kholil bin Mahali, salah satu muassis (pendiri) Ponpes al-Hikmah.

Abah Yai hidup di lingkungan pesantren yang didirikan oleh kakek beliau, sehingga sejak kecil sudah belajar agama di bawah asuhan sang kakek secara langsung. Memasuki usia 14 tahun, tepatnya pada tahun 1957 beliau mondok di Pondok Pesantren Tasik Agung Rembang di bawah asuhan KH. Sayuti dan KH. Bisri Mushtofa

Sejak muda, Abah Yai dikenal telah memiliki jiwa kepemimpinan dan selalu dituakan oleh orang- orang disekitar beliau. Di pesantren Tambak Beras dalam usia yang relatif muda, beliau telah didaulat oleh para masyakikh untuk menjadi qori’ (membacakan kitab untuk santri).

KH. Masruri Abdul Mughni, diperintahkan oleh kakek beliau KH. Kholil untuk menjadi pengasuh di Pondok Pesantren Al Hikmah Benda Sirampog yang lebih dikenal Al Hikmah Bumiayu.

Keistiqomahan beliau dalam mengajar sangat terlihat dari keseharian yang bisa disaksikan oleh semua santri. Dengan segudang kesibukan beliau sebagai rais syuriah NU Jawa Tengah, pengurus Majelis Ulama Indonesia, ketua MUI Brebes, dan ketua dewan pengawas Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT), beliau selalu meluangkan untuk para santri beliau.

Selain kedisiplinan yang sangat menonjol, Abah Yai juga seorang murabbi (pendidik) yang alim, murah senyum, berpembawaan luwes, memiliki tanggung jawab tinggi, dekat dengan semua orang, dan penuh dengan keteladanan.

Bagi Abah Yai, transformasi ilmu tak hanya sebatas teoritikal belaka, tapi setiap ilmu mesti diajarkan lewat keteladanan nyata. Itulah cara Abah Yai menyampaikan makna hidup yang sebenarnya kepada para santri.

Dalam tataran sosial kemasyarakatan, Abah Yai adalah seorang yang memiliki pembawaan luwes, hangat, dan mampu dekat dengan semua orang. Setiap tamu yang datang di ndalem, jika Abah Yai tidak sedang bepergian pasti ditemui.

Beliau sambut dengan ramah dan penuh kehangatan pukul berapapun juga. Beliau selalu berusaha bungahake (membuat senang) tamu beliau. Bahkan tak segan untuk mengajak setiap tamu beliau bersantap bersama di meja makan bersama beliau, jika si tamu kebetulan datang di waktu Abah daharan (makan).

Mari kita sejenak mendoakan beliau, semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau.

Semoga kita sebagai murid, santri, dan muhibbin beliau mendapat keberkahan dari semua yang beliau tinggalkan.

Mari sejenak kita bacakan Tahlil untuk beliau: Surat Yasin, Susunan Tahlil Singkat, dan Doa Arwah