Problematika Turunnya Adam dalam Pandangan Ahli Tafsir

 
Problematika Turunnya Adam dalam Pandangan Ahli Tafsir
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Moch. Thohir ‘Aruf dalam disertasinya “Perspektif Ibn Katsir tentang Eksistensi Adam” memaparkan bahwa, Adam dan Hawa mengerti bahwa mereka dilarang untuk memakan sesuatu dari pohon tersebut, namun Adam adalah manusia biasa, dan sebagai manusia ia lupa dan hatinya lalai dengan larangan Tuhan tersebut, maka Iblis memanfaatkan kelalaian Adam dan mengumpulkan segala kedengkiannya yang disembunyikan dalam dadanya. Maka Allah menginformasikan dalam Surat Al-Baqarah ayat 36:

فَاَزَلَّهُمَا الشَّيْطٰنُ عَنْهَا فَاَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيْهِ ۖ وَقُلْنَا اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚ وَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ ٣٦

“Lalu, setan menggelincirkan keduanya darinya sehingga keduanya dikeluarkan dari segala kenikmatan ketika keduanya ada di sana (surga). Kami berfirman, “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain serta bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”

Menurut Ibnu Katsir terkait dengan ayat 36 Surat Al-Baqarah di atas, bahwa Adam dan Hawa digelincirkan Iblis dari dalam surga, sehingga keduanya meninggalkan berbagai kenikmatan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan berbagai kepuasan serta kemewahan. Kemudian mereka, termasuk Iblis di dalamnya, di-ihbatkan Tuhan dengan cara turun dari langit surga langsung ke bumi dengan cara yang ringan. Menurut Al-Hasan Al-Basriy dari hadis ibn Abi Hatim, Adam diturunkan di India sedangkan Hawa di Jeddah.

Di dalam Al-Qur’an, term ihbat memiliki dua makna yang berbeda, dan ternyata Ibn Katsir memilih makna “turun dengan tajam dengan cara yang ringan”, hal ini karena menurutnya surga Adam eksistensinya di langit, untuk sampai ke planet bumi harus dengan cara turun dengan cara yang ringan. Pelanggaran ketentuan Tuhan oleh Adam bukanlah menjadi masalah yang besar karena ia belum diangkat menjadi Rasul, demikian menurut sebagian besar sahabat serta tokoh Mu’tazilah Abu Hudzail dan Abu ‘Ali.

Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 36, Adam dan Hawa yang ditipu oleh Iblis tersebut dikatakan “digelincirkan oleh setan”. Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut bahwa keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu, sehingga keduanya meninggalkan berbagai kenikmatan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan berbagai kepuasan serta kemewahan. Keberhasilan Iblis menipu Adam dan Hawa adalah juga iradat dan takdir Tuhan, yang terdapat hikmah di dalam peristiwa tersebut, di antaranya para penghuni surga di akhirat kelak benar-benar berasal dari orang-orang pilihan, yaitu orang-orang yang beriman dan beramal saleh karena mereka mampu mengalahkan tipu daya setan dan hawa nafsunya ketika hidup di dunia.

Dengan demikian maksud kata ‘tergelincir’ dalam ayat tersebut bermakna “menjauhkan dan memindahkan keduanya dari surga”. Oleh karena itu, setelah Adam dan Hawa memakan buah larangan, Tuhan kemudian memerintah mereka yaitu Adam, Hawa dan Iblis agar turun dari surga di langit menuju bumi dengan pernyataan sebagian mereka (anak cucu Adam dan Iblis), akan menjadi musuh terhadap sebagian yang lain. Pandangan Al-Sabuni tersebut didasarkan kepada firman Allah Surat Fatir ayat 6:

اِنَّ الشَّيْطٰنَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّاۗ اِنَّمَا يَدْعُوْا حِزْبَهٗ لِيَكُوْنُوْا مِنْ اَصْحٰبِ السَّعِيْرِۗ ٦

“Sesungguhnya setan itu musuh bagimu. Maka, perlakukanlah ia sebagai musuh! Sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni (neraka) Sa‘ir (yang menyala-nyala).”

Dalam ayat 36 Surat Al-Baqarah, Allah memerintah Adam, Hawa dan Iblis untuk turun ke bumi dengan kata  ﺍﺒﻄـﻮﺍ, menurut Al-Raghib Al-Asfahani  dalam Mu’jam Mufradat Alfaz Al-Qur’an menjelaskan bahwa ﺍﺒﻄﻮﺍ (kata kerja perintah yang jamak mudzakkar) dari kata ﺍﺒﻄ yang maknanya turun dengan tajam (curam) namun secara ringan. Dengan mengamati perintah tersebut, menambah informasi bahwa surga Adam AS. berada di langit dan diturunkan ke bumi yang curam, namun Tuhan memudahkan penurunan tersebut karena pendurhakaan Adam as. kepada Allah disebabkan sifat lupa terhadap larangan-Nya, bukan disebabkan oleh keinginan untuk durhaka. Hal ini identik dengan pandangan Ibn Katsir. Namun sanksi Allah kepada mereka, tak seorangpun yang mampu menolaknya. Mereka harus turun dari surga yang penuh kenikmatan ke bumi yang penuh perjuangan.

Kembali masalah ihbat/eksit, berdasarkan maksud yang terkandung dalam term tersebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an terdapat dua makna:

  1. Perpindahan dari satu kawasan ke kawasan yang lain. Hal ini termaktub dalam ayat 61 Surat Al-Baqarah tentang perintah Nabi Musa AS.

اِهْبِطُوْا مِصْرًا فَاِنَّ لَكُمْ مَّا سَاَلْتُمْ ۗ

“… Pergilah ke suatu kota. Pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta ...”

Ayat tersebut menyatakan tentang perintah Musa AS kepada kaumnya Bani Isra’il agar mereka pergi (ihbat) dari kawasan daerahnya ke suatu kota untuk mendapatkan barang-barang konsumtif yang mereka cari. Makna pertama tersebut yang dijadikan dasar pandangan Abu Al-Qasim dan Abu Muslim karena menurut mereka surga Adam berada di bumi. 

  1. Turun dari atas ke bawah secara ringan. Makna ini terdapat dalam dua ayat. Pertama dalam Surat Hud ayat 48.

قِيْلَ يٰنُوْحُ اهْبِطْ بِسَلٰمٍ مِّنَّا وَبَرَكٰتٍ عَلَيْكَ وَعَلٰٓى اُمَمٍ مِّمَّنْ مَّعَكَ ۗوَاُمَمٌ سَنُمَتِّعُهُمْ ثُمَّ يَمَسُّهُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ ٤٨

“Dikatakan (melalui wahyu), “Wahai Nuh, turunlah (dari bahteramu) dengan penuh keselamatan dari Kami dan penuh keberkahan atasmu serta umat-umat (mukmin) yang bersamamu. Ada pula umat-umat (kafir) yang Kami beri kesenangan (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab dari Kami yang sangat pedih.”

Term ihbat yang digunakan dalam ayat tersebut yaitu turun dari atas perahu ke darat. Kedua dalam Surat Al-Baqarah ayat 74.

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوْبُكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ ذٰلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ اَوْ اَشَدُّ قَسْوَةً ۗ وَاِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْاَنْهٰرُ ۗ وَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاۤءُ ۗوَاِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّٰهِ ۗوَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ٧٤

“Setelah itu, hatimu menjadi keras sehingga ia (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal, dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai yang (airnya) memancar. Ada pula yang terbelah, lalu keluarlah mata air darinya, dan ada lagi yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Allah tidaklah lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Term ihbat yang digunakan dalam ayat tersebut yaitu meluncurnya batu ke bawah dengan aliran dari mata air atau air sungai. Makna kedua tersebut yang dijadikan dasar Ibnu Katsir karena menurutnya “ihbat Adam dan Hawa adalah turun dari surga di langit ke permukaan bumi secara ringan”.

Kenyataan adanya makna musytarak dari term ihbat dalam ayat tersebut, timbullah interpretasi yang berbeda antara satu pihak dengan pihak yang lain khususnya tentang ihbat Adam dan Hawa dari surga ke bumi. Wallahu A’lam. []


Penulis: Kholaf Al Muntadar
Editor: Mas Lisan