Ta'limul Tarbiyah Anak

 
Ta'limul Tarbiyah Anak

LADUNI. ID,  ARTIKEL-Dalam hal proses pembelajaran, proses pembelajaran yang aktif me­mang dapat menjadikan murid untuk turut aktif dan kreatif, dengan catatan bahwa si anak juga memi­liki keinginan yang sama. Hal yang mungkin tidak kita (termasuk pe­me­rintah) sadari bahwa setiap siswa yang datang ke sekolah memiliki motivasi yang berbeda-beda.

 Tidak semua siswa datang bersekolah de­ngan kesadaran diri untuk menun­tut ilmu, ada yang mungkin sekadar terpaksa karena di bawah ancaman orang tua, atau sekadar alasan untuk tidak berada di rumah karena sua­sana rumah yang justru tidak me­nyenangkan. 

Motivasi yang berbe­da inilah yang membuat proses pembe­lajaran yang aktif belum tentu dapat berjalan sesuai rencana terhadap setiap anak karena anak dengan motivasi yang me­nyimpang akan mengikuti proses pembela­jaran dengan sete­ngah hati.

Mengingat kemampuan setiap anak yang berbeda dalam menerima pelajaran, maka siswa yang gagal diberikan kesem­patan remedial. 

Setiap manusia pantas menerima kesempatan kedua untuk mem­perbaiki kegagalannya mungkin mendasari kebijakan ini. Namun secara normatif, pemerintah tidak menentukan berapa kalikah reme­dial perlu dilakukan, yang penting pada akhirnya si anak dapat menca­pai nilai ketuntasan minimal. 

Sis­tem yang seperti ini dalam prak­tiknya juga mengandung banyak ke­lema­han. Untuk siswa yang memang me­miliki keinginan bela­jar tinggi, tentu remedial tidak diperlukan.

Bagi siswa yang memang berke­mampuan terbatas, guru ten­tunya tidak berkeberatan untuk membe­rikan remedial. 

Namun bagaimana dengan siswa yang sebenarnya mam­pu namun tidak berkemauan belajar dan ditambah dengan le­mah­nya peng­­awasan orang tua di rumah sehingga si anak terjebak dalam gawai dan game online? 

Memberikan remedial bukankah lagi-lagi menjadi hal yang sia-sia karena memang tidak ada keinginan untuk berusaha untuk lulus dari dalam diri si anak?

 Jikalau akhirnya anak tersebut diberikan kelulusan dengan nilai ketuntasan minimal, tentunya hal ini menciptakan rasa keti­dakadilan bagi anak yang mencapai nilai minimal dengan usa­ha­nya sendiri.

Sistem yang "memaksakan" setiap siswa untuk lulus tentu­nya mencederai pendidikan itu sendiri karena tidak meng­ajarkan bahwa untuk mencapai keberhasilan diper­lu­kan usaha dan kerja keras. Ter­lebih-lebih untuk mencapai keber­hasilan tentunya ada proses yang harus dilalui dan seringkali proses itu tidaklah menyenangkan. 

Demi­kian juga dengan orang tua yang cenderung lepas tangan dan malah menyalahkan pihak sekolah ketika sang anak memberikan hasil belajar yang buruk.

 Hal ini justru akan membuat sang anak merasa tidak pernah bersalah dan untuk setiap pelanggaran, anak dianggap seba­gai korban dan pihak lainlah yang dipersalahkan hingga akhirnya kasus murid melawan guru menjadi kian marak. 

Ketika melawan guru, anak tersebut tentunya dalam keadaan sadar penuh dan tahu bahwa sang guru tidak akan berani bertindak tegas karena adanya UU Perlindungan Anak dan ada orang tua yang akan senantiasa membela tindakannya. Yang sangat disa­yangkan adalah lembaga-lembaga pembela anak mampu bersuara keras ketika anak menjadi korban namun justru diam ketika anak justru menjadi pelaku.

Dan yang lebih aneh menurut penulis adalah KPAI membe­rikan tantangan kepada capres dan cawa­pres untuk mencari solusi dalam menyelesaikan masalah pernikahan usia anak. Bukankah negara telah menetapkan batas usia minimal untuk laki-laki dan perempuan yakni 19 tahun dan 16 tahun? 

De­ngan demikian jika terjadi perni­kahan usia anak, maka pihak ke­luar­galah yang seharusnya menjadi benteng pertama sebagai pengha­lang, bukan negara. Tanpa adanya restu dari kedua keluarga, tentunya pernikahan usia anak tidak akan terjadi. 

Namun jika kedua keluarga merestui, meskipun ne­gara menen­tang, pernikahan tetap akan terjadi meskipun hanya seca­ra adat atau­pun agama. 

Dalam hal ini KPAI seharusnya lebih mene­kankan pe­ran pihak keluarga men­cegah ter­jadinya pernikahan usia anak kare­na dalam banyak kasus, pihak ke­luarga justru merahasiakan perni­kahan dan baru terkuak setelah menjadi viral di dunia maya.

Ketika anak diajarkan untuk me­nerima hak namun abai da­lam menanamkan kewajiban yang harus mereka laksanakan, maka inilah yang menjadikan pendidikan itu menjadi sesuatu yang tidak mendi­dik. Mungkin pada saat ini orang tua dapat hadir menjadi pahlawan pembela anaknya, tetapi bagaimana kelak di masa men­datang? 

Ketika si anak telah bertumbuh de­wasa dan harus hidup di tengah masyarakat, mampukah si anak menghadapi realita bahwa orang tua tidak dapat lagi membela mereka, atau ternyata ada konse­kuensi dari setiap pelang­garan yang mereka lakukan, atau mungkin ternyata jika gagal, ma­sya­rakat tidak akan memberikan ke­sempatan untuk remedial? 

Jika kita masih mempertahankan model pendidikan seperti saat ini, sulit untuk mengharapkan hadirnya ge­ne­rasi muda yang siap bersaing untuk menghadapi pasar bebas yang telah di depan mata selain generasi alay yang berharap muda foya-foya, tua kaya-raya, dan mati masuk surga. Salam. ***

* ***Wahyuddin SE, MM, Penulis adalah Guru SMP Methodist-3