Mengurai Hukum Rambut Wanita Haid yang Rontok

 
Mengurai Hukum Rambut Wanita Haid yang Rontok
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Selama saya buka sesi tanya-jawab (Q&A) di Instagram, pertanyaan yang paling banyak diajukan, khususnya oleh para wanita adalah, “apakah wanita haid wajib mengumpulkan rambutnya yang rontok?”

Saya sendiri kurang paham, dari mana sebenarnya pemahaman dan pemikiran; “wanita haid harus mengumpulkan rambutnya yang rontok” itu muncul. Selama saya mendalami literatur fiqih para ulama kita, tak satupun saya menemukan 'ibaroh yang menganjurkan (apalagi mewajibkan) wanita haid untuk mengumpulkan rambutnya yang rontok untuk kemudian ikut dibasuh dan disucikan juga.

Ada juga pemahaman salah kaprah yang “mewajibkan” para wanita haid ekstra hati-hati dalam menjaga rambutnya, diyakini tidak boleh disisir, apalagi sampai dicukur atau dipotong (wah udah seakan-akan masuk kategori dosa besar).

Namun saya bisa menerka, bahwa pemahaman seperti itu adalah asumsi yang timbul akibat kesalahpahaman terkait 'ibaroh-'ibaroh yang berkaitan dengan rambut wanita haid, salah satunya adalah 'ibaroh dalam Fathul Muin berikut ini:

وَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُزِيْلُوْا قَبْلَ الْغُسْلِ شَعْرًا أَوْ ظُفْرًا وَكَذَا دَمًا لِأَنَّ ذَلِكَ يُرَدُّ فِي الْآخِرَةِ جُنُبًا

“Dan sebaiknya orang junub, wanita haid dan wanita nifas tidak menghilangkan –sebelum mandi– rambutnya atau kukunya, begitu pula darahnya, karena anggota-anggota itu akan dikembalikan kelak di akhirat dalam keadaan junub.”

Nah, dari 'ibaroh inilah muncul setidaknya dua kesalahpahaman, yakni:

1. Menjaga rambut bagi wanita haid adalah kewajiban, wanita haid tidak boleh “menggugurkan” rambutnya, menyisir apalagi sampai mencukur (padahal itu “hanya” anjuran).

2. Menyimpulkan solusi sendiri, yaitu rambut yang sudah rontok harus dikumpulkan untuk kemudian disucikan juga (padahal sepengetahuan saya tidak ada satupun 'ibaroh yang menyebut solusi tersebut).

Para ulama yang menyinggung pembahasan ini, (Fathul Muin, Nihayatuz Zain maupun Al-Bajuri) semuanya merujuk kepada 'ibaroh Imam Ghozali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin yang menjelaskan bahwa rambut yang dipotong dalam keadaan tidak suci akan dibangkitkan kelak dalam keadaan tidak suci juga, dan akan menuntut pemiliknya di akhirat nanti. Namun banyak juga para ulama yang mengkritisi pendapat tersebut, termasuk Imam Al-Qulyubi, Al-Bujairimi, dll.

Imam Al-Qulyubi berkomentar:

وَفِي عَوْدِ نَحْوِ الدَّمِ نَظَرٌ وَكَذَا فِي غَيْرِهِ لِأَنَّ الْعَائِدَ هُوَ الْأَجْزَاءُ الَّتِيْ مَاتَ عَلَيْهَا

“Pendapat Imam Ghozali ini perlu dikaji kembali, karena yang dikembalikan kelak di Hari Kiamat bukan semua anggota badan yang pernah ada pada kita, tapi anggota badan yang ada dalam keadaan kita mati.”

Sementara ini, inilah kesimpulan saya dari data-data yang bisa saya kumpulkan. Sangat tidak menutup kemungkinan ada ilmu “lain” yang belum saya ketahui yang mungkin berbeda atau justru menguatkan pemahaman saya. Wallahu 'Alam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Gus Ismael Amin Kholil

Editor: Hakim