Menghadapi Orang yang Susah Membayar Utang

 
Menghadapi Orang yang Susah Membayar Utang
Sumber Gambar: Ilustrasi/Jubelio

Laduni.ID, Jakarta – Mengutangi itu tidak mudah, lebih-lebih jika yang berutang tidak amanah. Perjuangan mengontrol perasaan dan juga mengontrol lisan itu perlu energi ekstra. Sebab hati sering digoda untuk jengkel dan lisan sering digoda untuk mengucapkan kata-kata nylekit bin pedas lalu bisa terseret pada perbuatan menggunjing dan bahkan bisa memfitnah.

Jika tidak kuat lagi, diri tergoda untuk dibawa mendatangi yang berutang, melabraknya, memakinya, menjatuhkan kehormatannya, bahkan mengancamnya dibawa ke urusan hukum. Sungguh tidak mudah.

Hanya orang-orang yang pernah mengutangi yang bisa merasakan gejolak seperti ini. Terutama jika kebetulan mengutangi orang yang tidak amanah, tidak tahu diri, kurang memilki rasa malu dan tidak takut dosa.

Yakni mereka yang jika saat utang wajahnya memelas, mintanya menghiba-hiba dan memohonnya merendah-rendah. Tapi begitu tiba waktu bayar selalu saja berjanji yang terus diingkari atau bahkan malah pasang muka galak dan marah-marah seolah-olah dia yang punya uang. Kadang begitu entengnya juga tiba-tiba menghilang.

Oleh karena itu, wajar jika orang sering makan hati setelah mengutangi orang lain. Dia yang mengutangi, tapi malah dia sendiri yang susah, sementara yang berutang malah tenang-tenang saja. Lebih sakit hati jika yang punya utang lupa dengan utangnya, lalu dia memamerkan sedang rekreasi, makan enak di restoran mahal, atau memberi barang-barang mahal. Kadang lebih jauh dari itu, teman akrab bisa jadi bermusuhan dan kerabat bisa terputus tali silaturahmi. Memang uang itu bisa menjadi fitnah bagi siapapun.

Nah di balik dinamika dan pergolakan perasaan orang yang mengutangi seperti ini, ternyata tersimpan kebaikan yang luar biasa banyak jika orang tahu ilmunya.

Bagaimana bisa?

Iya, sebab Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa pahala orang yang mengutangi itu adalah seperti sedekah setiap hari kepada orang yang diutangi sampai jatuh tempo. Jika sampai jatuh tempo belum dibayar juga, maka pahala sedekahnya dua kali lipat!

Ilustrasinya begini.

Misalnya Anda mengutangi sebesar 3 juta dengan perjanjian dikembalikan sebulan lagi. Anggap saja utangnya tanggal 1 Muharam dan dijanjikan lunas tanggal 1 Safar. Nah, dalam kondisi ini berarti mulai tanggal 1-29 Muharam Anda dihitung bersedekah kepada orang itu setiap hari sebanyak 3 juta! Artinya, sampai tanggal 29 Muharam sebenarnya Anda sudah dianggap seperti bersedekah kepada orang itu senilai Rp. 3.000.000 x 29 = Rp 87.000.000.

Jika pada tanggal 1 Safar Anda menagih, lalu orang itu belum bisa membayar dan berjanji membayar tanggal 1 Rabi’ul Awal, maka nilai pahala sedekah Anda naik 2 kali lipat. Jadi, mulai tanggal 1 Safar Anda dihitung seperti bersedekah kepada orang tersebut senilai 6 juta! Maknanya, jika sampai tanggal 29 Safar utang tersebut belum dilunasi maka Anda mendapatkan pahala sedekah senilai Rp. 6.000.000 x 29= Rp. 174.000.000.

Imam Ahmad meriwayatkan,

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ "، قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ: " ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ "، قُلْتُ: سَمِعْتُكَ يَا رَسُولَ اللهِ تَقُولُ: " ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلِهِ صَدَقَةٌ "، ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: " ‌مَنْ ‌أَنْظَرَ ‌مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ "، قَالَ لَهُ: " بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ ‌يَحِلَّ ‌الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ  صَدَقَةٌ» مسند أحمد» (38/ 153 ط الرسالة)

Artinya: “Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ   bersabda: ‘Barangsiapa yang memberi penangguhan pada orang yang kesusahan maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Berkata Buraidah, kemudian aku mendengar beliau bersabda, ‘Barangsiapa memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar utang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah dua kali senilai piutangnya setiap harinya.’ Aku berkata, aku mendengar baginda bersabda: ‘Barangsiapa yang memberi penangguhan kepada orang yang kesusahan membayar hutang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai piutangnya setiap harinya.’ Kemudian aku mendengar baginda bersabda: ‘Barangsiapa yang memberi penangguhan pada orang yang kesusahan membayar hutang, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’ Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ia mendapat sedekah setiap harinya sebelum jatuh tempo, dan setelah jatuh tempo, maka dia mendapatkan (pahala) sedekah senilai dua kali piutangnya setiap harinya.’” (H.R.Ahmad)

Oleh karena itu, orang mengutangi itu tetap untung meskipun uangnya belum kembali. Asalkan dia sabar dengan kesulitan orang yang membayar utang, termasuk sabar dengan “nakalnya” orang yang berutang. Sabar dengan menjadwalkan ulang jatuh tempo, tidak menggunjing, tidak memaki, apalagi melabrak sambil mengancam-ancam atau bertindak fisik.

Di dunia setiap hari mendapatkan pahala selama belum dibayar dan jika sampai wafat belum diselesaikan juga, maka di akhirat juga berpeluang mendapatkan pahala orang yang diutanginya atau dikurangi dosanya. Lebih-lebih jika sampai level memutihkan utang kepada orang yang benar-benar kesulitan membayar. Yang seperti ini dapat janji diputihkan seluruh dosanya pada hari kiamat meskipun catatan amalnya penuh dengan dosa.

Hanya saja, agar sifat mulia seperti ini tidak dimanfaatkan orang-orang jahat, maka dalam menghutangi perlu memegang beberapa prinsip. Berikut ini beberapa tips yang bisa dijadikan prinsip jika ingin menghutangi.

1. Utamakan menghutangi orang saleh yang amanah, butuh dan cerdas

Saya tambahi syarat cerdas karena kadang ada orang saleh yang amanah tapi karena keluguan, beliau tidak sadar sedang ditipu orang lain sampai harus bingung berutang. Menghadapi orang seperti ini kita jangan mengutangi. Yang benar, kita membantu memberikan pencerahan agar tidak tertipu. Sebab jika kita memenuhi keinginannya dengan mengutanginya, itu sama saja menjerumuskan beliau dalam kesusahan karena beban utang.

2. Utamakan menghutangi orang yang butuh karena kebutuhan primer atau yang mendekatinya seperti untuk makan, pakaian, tempat tinggal, biaya pengobatan, biaya pendidikan dan semisalnya. Utang untuk bisnis, atau cicilan mobil atau hal semisal yang bukan urgen, mengutangi seperti itu tidak diprioritaskan.

3. Jangan mengutangi dalam jumlah banyak untuk orang yang pertama kali berutang

Apalagi jika belum terlalu mengenal. Apalagi jika Anda sendiri masih membutuhkan uang tersebut atau ada kerabat yang lebih layak diprioritaskan dan membutuhkan uang. Sebab jika baru pertama kali berutang, kita masih belum tahu level keamanahan beliau. Godaan penghancur amal lebih besar jika mengutangi dalam jumlah banyak untuk orang yang belum kita kenal karakternya, sebab ada peluang mengguncing, mencela, mengundat-undat dan semisalnya

4. Orang yang sudah lama bermuamalah dengan kita dan kita tahu betul sifat amanahnya, maka utamakan dibantu tanpa ada beban

Terutama orang yang tidak tenang dengan utang. Yang ingin segera melunasi jika punya utang.  Sebab kalaupun suatu saat beliau belum bisa membayar pada saat jatuh tempo, yang demikian itu benar-benar karena belum mampu, bukan karena kelalaian. Orang seperti ini yang secara pasti dan jelas masuk dalam janji hadis yang memberi pahala bagi kreditur yang mau menjadwal ulang jatuh tempo. Jika orang seperti ini ditagih tiga kali masih belum sanggup membayar juga, maka dianjurkan diputihkan. Sebagian ulama berpendapat lebih utama terus dibiarkan sebagai utang agar terus mendapatkan pahala sedekah.

5. Orang yang tidak amanah dalam berutang, cukup sekali saja diutangi

Selanjutnya jika berutang lagi, maka jangan pernah diberi utang. Ini juga agar menjadi pendidikan untuknya supaya mengubah sifatnya setelah tidak ada lagi orang yang percaya kepadanya. Maksimal, cukup diberi sedekah sekedarnya saja jika kondisinya benar-benar mendesak, tapi bukan mengutangi.

Oh ya, jika yang utang orang tua, maka akhlak mulia adalah jika tidak mengharap kembali. Sebab, orang tua jika sampai utang maka dikhawatirkan itu karena saking lalainya kita memenuhi kebutuhannya, lalu orang tua malu meminta dan akhirnya bilangnya berutang. Niatkan saja sedekah dan silaturahim jika orang tua sampai berutang kepada kita. Sebab kita mengutangi orang tua 1000 kali sekalipun sebenarnya belum memenuhi hak birul walidain. Jadi saat orang tua butuh, maka sepantasnya kita menyambutnya sebagai kesempatan besar untuk berbakti dan melaksanakan perintah Allah berbuat baik kepada orang tua.

Tapi jika anak diuji dengan orang tua yang boros, menggunakan uang untuk kemungkaran, memanajemen keuangan dengan tidak bijaksana dan mengatur uang tidak berdasar skala prioritas, maka anak dalam memberi uang atau mengutangi harus bijaksana. Jangan sampai membantu dalam dosa dan kemungkaran atau membantu orang tua terjerumus dalam perilaku yang membahayakan akhiratnya. Harus diatur dengan teliti kapan diberi dan kapan ditahan.

Ini adalah pembahasan utang-utang individu dalam kehidupan sehari-hari. Bukan utang negara atau utang konglomerat atau perusahaan besar. Sebab itu pembahasan lain.

17 Muharram 1443 H/26 Agustus 2021

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)


Editor: Daniel Simatupang