Unsur-Unsur Kredit dalam Pandangan Islam

 
Unsur-Unsur Kredit dalam Pandangan Islam
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Perkembangan zaman yang semakin modern di era globalisasi sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Kehidupan kaum muslimin menjadi semakin carut marut, khususnya di bidang perekonomian. Banyak di kalang masyarakat merasa acuh tak acuh antara haram dan halal. Hal itu di karenakan berlakunya sistem ekonomi yang terjadi saat ini di kalangan masyarkat kita.

Aspek ekonomi ini mengatur perilaku kebutuhan individu dan masyarakat, ditujukkan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Ekonomi tidak luput dari kajian Islam yang bertujuan menuntun agar manusia berada di jalan yang lurus. Oleh karena itu dalam melakukan kegiatan ekonomi, hendaklah kita menanamkan nilai-nilai Islam di dalamnya supaya kegiatan ekonomi kita mendapatkan ridha dari Allah Ta’ala.

Dengan seiring perkembangan zaman yang makin meningkat, maka tanpa kita sadari pula bahwa kebutuhan ekonomi setiap induvidu juga akan ikut meningkat. Sehingga membuat mereka berlomba-lomba dalam mencari solusi di dalam mengatasi kebutuhan tersebut, salah satu sistem yang dapat meringakan kebutuhan masyarakat kita yakni dengan adanya sistem kredit.

Secara umum dikatakan bahwa kredit adalah kepercayaan. Namun dalam bahasa latin, kredit disebut "credere". Artinya yaitu kepercayaan dari pihak bank (kreditor) kepada nasabah (debitur), di mana bank percaya nasabah pasti akan mengembalikan pinjamannya sesuai kesepakatan yang telah dibuat (Kasmir, S.E., M.M., 2012: 274).

Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu kredit adalah sebagai berikut:

1. Kepercayaan

Kepercayaan artinya bahwa bank percaya nasabah akan mengembalikan kredit yang diberikan. Dasar pertimbangan yang diberikan oleh bank adalah iktikad baik nasabah, yaitu adanya kemauan untuk membayar. Bagi nasabah dalam hal ini berarti nasabah memperoleh kepercayaan dan juga memiliki kemampuan untuk membayar kewajibannya.

2. Kesepakatan

Sebelum kredit diluncurkan, bank dengan nasabah terlebih dulu menyepakati hal-hal yang menjadi kewajiban dan hak masing-masing pihak. Kemudian, juga disepakati sanksi-sanksi yang akan diberikan apabila masing-masing pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Kesepakatan ini dituangkan dalam akad kredit yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada saat kredit disetujui bank dan akan dikucurkan.

3. Jangka waktu

Setiap kredit yang disalurkan pasti memiliki jangka waktu tertentu, artinya tidak ada yang waktu pengembaliannya tidak terbatas. Jangka waktu tersebut merupakan waktu pengembalian atau kapan kredit tersebut akan berakhir (lunas), misalnya satu tahun atau tiga tahun. Kemudian, juga termuat kapan nasabah harus membayar kewajibannya (angsuran), yang biasanya dilakukan setiap bulan.

4. Risiko (Degree of Risk)

Di masa depan kondisi penuh dengan ketidakpastian, oleh karena itu setiap kredit yang dibiayai pasti memiliki risiko tidak tertagih alias macet. Hal ini terjadi karena berbagai sebab, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Sengaja artinya nasabah sengaja untuk tidak mau membayar kreditnya. Sementara itu, tidak sengaja artinya nasabah memang tidak bermaksud untuk tidak mengembalikan kreditnya. Hanya saja nasabah belum memiliki kemampuan akibat misalnya kerugian yang diderita atau terkena bencana. Namun, nasabah kemungkinan akan melunasi kredit tersebut dengan berbagai cara, misalnya dengan melelang jaminan yang diberikan sebelumnya.

Oleh karena itu, dalam hal ini pihak perbankan harus mempertimbangkan faktor risiko yang harus ditanggung apabila terjadi sesuatu. Untuk menutupi risiko yang mungkin akan terjadi, bank biasanya meminta kepada nasabah suatu jaminan yang nilainya lebih tinggi dari kredit yang akan diberikan, ataupun dapat juga dengan menjaminkan lewat asuransi  untuk mengalihkan risiko kerugian yang munkin timbul.

5. Balas jasa

Sudah pasti bank juga akan mendapatkan keuntungan atas setiap dana yang diberikan. Keuntungan ini disebut balas jasa. Keuntungan bagi bank konvensional disebut bunga dan bagi hasil bagi bank syariah. Bagi nasabah, balas jasa ini merupakan jasa atau imbalan yang mereka berikan atas dana yang mereka gunakan.

Bagi perusahaan dagang, biasanya balas jasa diterima berupa harga yang diberikan lebih tinggi dari harga normal dan terkadang pembeli tidak memperoleh diskon seperti penjualan tunai (Kasmir, S.E., M.M., 2012: 274-276).

Dalam pandangan Islam jual beli kredit dikenal sebagai Bai'bit, yang berarti membagi sesuatu menjadi beberapa bagian tertentu. Para ulama banyak berbendapat bahwa hukum kredit dalam Islam diperbolehkan. Hal ini didasarkan pada beberapa hal, yakni:

Tidak adanya dalil yang mengaharamkan kredit

Alasan pertama mengapa kredit diperbolehkan ialah karena tidak ada dalil yang menjelaskan hukum kredit. Ini juga beracuan pada kaidah ushul fikih yang menyatakan bahwa, "Asal dari hukum sesuatu adalah mubah (boleh). Sampai ada hukum yang mengharamkan atau memakruhkannya." Perlu diketahui, mengharamkan sesuatu tanpa dalil yang kuat itu tidak diperbolehkan, sama saja dengan menghalalkan perkara yang haram (Pusat ilmu islam nusantara: 2017).

Firman Allah yang memperbolehkan utang piutang

Praktik kredit sama dengan utang piutang. Sedangkan Allah Ta'ala juga memperbolehkan hukum berhutang piutang, asalkan tidak ada unsur penambahan bunga. Ini dijelaskan dalam firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ اَنْ يَّكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّٰهُ فَلْيَكْتُبْۚ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّهٗ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًٔاۗ فَاِنْ كَانَ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا اَوْ ضَعِيْفًا اَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ اَنْ يُّمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهٗ بِالْعَدْلِۗ وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ فَاِنْ لَّمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَّامْرَاَتٰنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَۤاءِ اَنْ تَضِلَّ اِحْدٰىهُمَا فَتُذَكِّرَ اِحْدٰىهُمَا الْاُخْرٰىۗ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَۤاءُ اِذَا مَا دُعُوْا ۗ وَلَا تَسْـَٔمُوْٓا اَنْ تَكْتُبُوْهُ صَغِيْرًا اَوْ كَبِيْرًا اِلٰٓى اَجَلِهٖۗ ذٰلِكُمْ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ وَاَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَاَدْنٰىٓ اَلَّا تَرْتَابُوْٓا اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيْرُوْنَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَلَّا تَكْتُبُوْهَاۗ وَاَشْهِدُوْٓا اِذَا تَبَايَعْتُمْ ۖ وَلَا يُضَاۤرَّ كَاتِبٌ وَّلَا شَهِيْدٌ ەۗ وَاِنْ تَفْعَلُوْا فَاِنَّهٗ فُسُوْقٌۢ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)

Hadis Shahih tentang Rasul yang Pernah Berhutang

Dibolehkannya transaksi dengan kredit juga didasarkan pada hadist shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah membeli makanan dengan cara berhutang. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan bahwa, "Rasulullah SAW membeli sebagian bahan makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga menggadaikan perisai kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh: Sanusi, Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia


Editor: Daniel Simatupang