Di Era Industri 4.0, Indonesia Bisa Ungguli Kecanggihan Jepang

 
Di Era Industri 4.0, Indonesia Bisa Ungguli Kecanggihan Jepang

LADUNI.ID, Jakarta - Revolusi industri 4.0 adalah sebuah era di mana sedang terjadi disrupsi dan ancaman secara besar-besaran. Mengapa mengancam? Sebab, di era inilah sedang berlangsung apa yang disebut sebagai strategic inflection point, yakni sebuah titik di mana strategi-strategi itu berputar tetapi berbelok secara patah sehingga arahnya tidak dapat kita duga sebelumnya.

Sebuah perusahaan yang besar dan sudah dirawat sejak dulu misalnya, terpaksa harus tumbang diterjang derasnya gelombang disrupsi sebagai imbas berlangsungnya revolusi industri 4.0 ini. Perusahan handphone seluler semacam Nokia misalnya, harus tumbang karena “dikeroyok” oleh orang-orang iseng yang menciptakan inovasi android dengan berbagai brand dan aplikasinya.

Kenyataan itu disampaikan oleh Rektor Universitas Nurul Jadid (Unuja) Probolinggo, KH. Abdul Hamid Wahid dalam acara Webinar Readiness of Young Generation for Industry 4.0 sesi 2 dengan tema, “Critical Thingking; Keterampilan Berfikir Kritis untuk Menyongsong Industri 4.0”, pada Ahad (7/3/2021).

Dalam acara Webinar yang diselenggarakan oleh Yayasan Dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Yadia) bersama Laduni.ID ini, KH. Abdul Hamid Wahid menyampaikan bahwa saat ini terdapat banyak ketidakpastian yang mengakibatkan runtuhnya atau ter-distruption-nya segala sendi kehidupan, terutama di bidang teknologi informasi.

“Dan ini banyak korban. Tetapi banyak juga yang mengambil peluang dari distruption itu tadi. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang mengikuti dari pola dan kebutuhan dari revolusi industri. Sekarang ini harus kreatif, harus inovatif, harus berasosiasi,” tutur KH. Abdul Hamid Wahid.

The Invention

Ia mencontohkan, bangsa yang maju seperti Jepang saat ini sudah bersiap-siap untuk menggagas sebuah ide besar yang dilakukan bukan hanya oleh perorangan, melainkan secara kolektif sebagai bangsa. Mereka menggagas sesuatu yang kemudian diberi nama “Society 5.0”, yakni suatu sistem di mana manusia berdaya dan mampu melawan keadikuasaan teknologi dengan aspek-aspek kemanusiaan.

Mereka itu, menurut KH. Abdul Hamid Wahid, adalah orang-orang yang keluar dari kotak dan model berpikir yang biasa-biasa saja atau --meminjam istilah Edward D’ Bono-- disebut sebagai lateral thinking atau berpikir lateral. Melalui cara berpikir demikian, berbagai kreativitas dan inovasi akan terjadi bahkan akan melampaui inovasi tersebut menuju the invention (penemuan).

“Di dalam pengetahuan, the invention itu adalah ujung paling ujung. Hanya orang yang sudah mutabakkhir atau expert, bahkan bukan hanya expert tetapi pengalamannya luas dan berwawasan menemukan sesuatu yang sama sekali baru. Nah, invention itu dari nol, tapi kalo innovation itu dari ray saja, dari bahan yang ada kemudian dipoles jadi kelihatan baru. Padahal bahan lama,” terangnya.

Untuk mencapai hal itu, KH. Abdul Hamid Wahid menekankan agar kembali kepada modal yang dimiliki oleh Indonesia. Gerakannya pun tidak boleh hanya sebagai gerakan individual, melainkan harus dilakukan secara kolektif sebagai bangsa. Modal itulah yang dalam konteks revolusi 4.0 ini pada akhirnya akan mengantarkan Indonesia menjadi negara yang lebih canggih dari Jepang.

“Apa itu? Ulul Albab 6.0 misalnya gitu ya, ini gagasan saya ya… Perlu kita rumuskan ke depan strategi bersama, jangan strategi sendiri, kalau strategi sendiri kan berubah sendiri. Tapi Allah kan isyaratkan innallaha yughayyiru ma bi qawmin hatta yughayyiru ma bi anfusihim. Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka itu mengubah dirinya sendiri,” tegasnya.

Dalam ayat itulah, KH. Abdul Hamid Wahid mendefinisikan bahwa perubahan itu harus dilakukan secara kolektif. Artinya, terdapat kesadaran kolektif sehingga melahirkan perubahan kolektif atau yang oleh masyarakat Nahdlatul Ulama disebut sebagai Taswirul afkar (sebuah kebangkitan pemikiran kaum santri di bidang pendidikan, sosial, dan politik yang digagas pada tahun 1918 oleh KH. Wahab Chasbullah).

Restorasi Meiji dan Local Wisdom

KH. Abdul Hamid Wahid mencontohkan "Restorasi Meiji" yang terjadi di Jepang. Menurutnya, restorasi Meiji terlepas dari kritik dan perdebatannya, merupakan sebuah modal sosial yang dimiliki oleh bangsa Jepang yang kemudian diterjemahkan melalui gerakan-gerakan keilmuan. Sehingga, pada era 1945 hingga 1960-an, Jepang sudah bisa bangkit menjadi bangsa dan pemain baru yang kuat.

Pada ujungnya, Jepang sudah memainkan banyak hal di bidang industri seperti di dunia otomotif sebagaimana sudah kita kenal saat ini. Bahkan, pada era 1970 hingga era 1980-an Jepang sudah siap.

“Korea juga begitu bangkitnya. Jadi berpijak dari kearifan lokal itu penting menurut saya. Artinya bahwa local wisdom yang sudah terbukti. Nah Jawa ini kan buktikan di situ, kearifan lokal masyarakat Jawa membentuk adiluhung budaya misalnya, sebelumnya Melayu di Sriwijaya, kemudian setelahnya Majapahit, setelahnya Islam. Itu kan proses di dalam peradaban,” jelasnya.

Kearifan-kearifan lokal seperti ini, menurutnya, tidak boleh dibuang secara percuma dan tidak boleh ditinggalkan sama sekali ketika kita mengambil nilai dari luar yang baru. Sebab, kearifan lokal tersebut menjadi proses yang terjadi di dalam masyarakat sehingga kemudian bisa dijadikan modal dasar dalam menghadapi era revolusi industri 4.0.

Bangsa Indonesia yang dalam sejarah peradaban pernah berkuasa di Nusantara, yang dibuktikan dengan kekuatan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Meskipun setelah itu ada Islam yang sedikit terpecah-pecah. Tetapi secara geografis, Indonesia sudah pernah berjaya. Keberjayaan itulah yang menurut KH. Abdul Hamid Wahid ada “sesuatu” di tengah peradabannya, karena sebuah komunitas masyarakat yang berjaya tidak mungkin tidak ada isinya.

“Contoh misalnya peradaban penyembah api di Persia itu peradaban tertua, sebelumnya di Babilonia;. Itu kan peradabannya bagus, sehingga peradaban ini membawa ekses kepada kekuasaan politik juga pada akhirnya. Sebagai orang yang cerdas, sebagai orang yang pintar dan mengerti informasi duluan,” tegasnya.

Oleh karena itu, KH. Abdul Hamid Wahid mengajak kepada bangsa Indonesia agar bisa melakukan sesuatu, melakukan hal kecil sekarang, bukan sebagai individu melainkan secara bersama-sama dengan tetap berpijak pada local wisdom.

“Saya ingin mengajak saja kepada kita bersama, saya kira proses sekarang untuk bagaimana kita merespon sebagai komunitas, sebagai masyarakat, sebagai bangsa, itu harus sudah kita lakukan,” pungkas KH. Abdul Hamid Wahid.(*)

***

Editor: Muhammad Mihrob